"Rumah tetaplah rumah, sekali kau sebut rumah artinya sekeping hatimu akan tinggal disana". (Aditia Yudis)
Membangun rumah tidak hanya sekedar menjadi tempat
tinggal. Kita bisa lihat bagaimana rumah-rumah panggung di Sulawesi Selatan
yang ternyata memiliki makna filosofis. Misalnya, Suku Bugis yang memandang
rumah sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat kita lahir, tumbuh besar dan
kembali menjad tanah. Rumah panggung Suku Bugis terdiri dari tiga bagian, yaitu
Rakkeang (dunia atas), Ale Bola (dunia tengah) dan Awa Bola (dunia bawah) yang kontruksinya memilik makna tentang
harmonisasi Tuhan, alam dan Manusia.
Rumah sejarah yang bersejarah adalah rumah kedua saya setelah rumah di kampung. Rumah yang memasuki tahun ke-20 bermusyawarah sejak kampus yang berubah dari institut menjadi universitas. Menjadi salah satu penghuni rumah dari sekian banyak penghuni, bagi saya adalah kebanggaan tersendiri meskipun kontribusi yang saya berikan bisa dikatakan masih begitu kecil untuk melihat rumah ini tetap berdiri tegak dengan prinsip kebersamaannya dan mampu menyesuaikan dengan gerak zaman. Rumah ini adalah awal dari segalanya, tempat pertama memulai untuk menemukan ke-akuan dari tempaan hiruk pikuk persoalan yang menghidupkan naluri kemanusiaan dan meredahkan keegoan.
Rumah sejarah yang bersejarah adalah rumah kedua saya setelah rumah di kampung. Rumah yang memasuki tahun ke-20 bermusyawarah sejak kampus yang berubah dari institut menjadi universitas. Menjadi salah satu penghuni rumah dari sekian banyak penghuni, bagi saya adalah kebanggaan tersendiri meskipun kontribusi yang saya berikan bisa dikatakan masih begitu kecil untuk melihat rumah ini tetap berdiri tegak dengan prinsip kebersamaannya dan mampu menyesuaikan dengan gerak zaman. Rumah ini adalah awal dari segalanya, tempat pertama memulai untuk menemukan ke-akuan dari tempaan hiruk pikuk persoalan yang menghidupkan naluri kemanusiaan dan meredahkan keegoan.
“Kau
tidak cukup hanya mengetahui masalah, kau harus menjadi bagian dari
penyelesaian masalah itu karena masalah adalah proses pendewasaan”. Kalimat itu
pertama kali saya dengar dari seorang kakak ketika pertama kali saya mengikuti
rangkaian proses menjadi salah seorang pengurus organisasi himpunan yang akan
belajar bertanggung jawab menjaga rumah itu. Apakah sampai hari ini saya masih
bertanggung jawab? Ya atau tidak, jawaban itu akan ditanggapi dengan banyak
persepsi dari ragam perspektif.
Bagi saya rumah tetaplah rumah yang tidak akan pernah bertanya apakah kau menjaganya atau tidak karena pintu rumah akan selalu terbuka kepadanya yang merasa penghuni rumah. Dimana pun dan kapan pun jagalah prinsip dari rumah itu; jangan berhenti belajar, jangan hidup untuk diri sendiri dan beranilah pada kehidupan, maka rumah itu tetap akan selalu ada di hati dan pikiran.
Bagi saya rumah tetaplah rumah yang tidak akan pernah bertanya apakah kau menjaganya atau tidak karena pintu rumah akan selalu terbuka kepadanya yang merasa penghuni rumah. Dimana pun dan kapan pun jagalah prinsip dari rumah itu; jangan berhenti belajar, jangan hidup untuk diri sendiri dan beranilah pada kehidupan, maka rumah itu tetap akan selalu ada di hati dan pikiran.
Bermusyawarah
adalah cara rumah untuk memanggilmu pulang sejenak. Berkumpul, mengenang masa
dan melihat regenerasi yang sedang tumbuh dalam prosesnya. Satu nilai yang penting untuk terus dijaga
dalam rumah ini ketika bermusyarawah adalah terus memberi ruang-ruang
berdemokrasi bagi siapa saja yang berkehendak menjadi pemimpin rumah. Selama saya mengikuti proses
musyawarah, persoalan siapa yang menjadi pemimpin tidaklah menjadi polemik yang
memaksakan hasrat kuasa. Semuanya mengalir dan bersepakat ketika ritual
pemilihan selesai, siapapun itu, dialah pemimpin kami!
Karena yang terpenting dalam proses bermusyawarah adalah tahapan mengevaluasi segala usaha, kerja keras yang telah dilalui selama satu tahun periode untuk melihat, mengukur dan menyimpulkan apa yang akan menjadi bekal pembelajaran untuk perjalanan periode setahun selanjutnya dalam menjaga nilai-nilai dan prinsip rumah secara struktural maupun kultural. Karena kita sejarah, belajar bukan menjadi pahlawan tetapi belajar menjadi bijaksana dari makna peristiwa masa lalu. Historia Magistra Vitae.
Karena yang terpenting dalam proses bermusyawarah adalah tahapan mengevaluasi segala usaha, kerja keras yang telah dilalui selama satu tahun periode untuk melihat, mengukur dan menyimpulkan apa yang akan menjadi bekal pembelajaran untuk perjalanan periode setahun selanjutnya dalam menjaga nilai-nilai dan prinsip rumah secara struktural maupun kultural. Karena kita sejarah, belajar bukan menjadi pahlawan tetapi belajar menjadi bijaksana dari makna peristiwa masa lalu. Historia Magistra Vitae.
Oh
iya, setelah bermusyawarah jangan keseringan menghabiskan banyak waktu di dalam
rumah, mulailah bersepakat membuat halaman rumah yang sejuk nan teduh sebagai
tempat bermain, menghabiskan buku bacaan kesukaan, membangun wacana, bersantai,
menghilangkan penat, dan melepas ketegangan agar tidak menjadi manusia yang
kaku ketika kita keluar dari rumah.
Di halaman rumah kita bisa pula mengeksplorasi ide-ide kreatif yang tetap kritis. Sebab rumah tanpa halaman rumah hanya akan menjadikan penghuni rumah sekedar melepaskan waktu untuk makan, beristirahat dan tidur. Jadilah rumah yang melepas semua sekat-sekat pembatas, rumah yang menerima dengan terbuka belbagai ilmu dan rumah yang tetap menjaga pesan kearifan dari penghuni-penghuni rumah sebelumnya.
Di halaman rumah kita bisa pula mengeksplorasi ide-ide kreatif yang tetap kritis. Sebab rumah tanpa halaman rumah hanya akan menjadikan penghuni rumah sekedar melepaskan waktu untuk makan, beristirahat dan tidur. Jadilah rumah yang melepas semua sekat-sekat pembatas, rumah yang menerima dengan terbuka belbagai ilmu dan rumah yang tetap menjaga pesan kearifan dari penghuni-penghuni rumah sebelumnya.
Selamat
bermusyarawah rumah!
Dari penghuni yang mencintaimu dengan cara berbeda.
Komentar
Posting Komentar