Langsung ke konten utama

The Kablams (Awal Mula)



Cerita 01



Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad).
***
Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini.

Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama dengan beberapa teman sekelas saya sewaktu kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nama genknya “The Killers”, logonya berbentuk salib yang dipenuhi lumuran darah. Alasan membentuk genk karena kami merasa ada diskriminasi antar kelas yang dilakukan oleh guru-guru sekolah kami. Di SMP saya, ketika beranjak kelas dua, ada yang dinamakan kelas khusus, yaitu kumpulan orang cerdas dalam satu kelas berdasarkan peringkat tertinggi semasa kelas satu. Kelas khusus menurut kami adalah kelas yang memang diperlakukan khusus oleh guru-guru, sementara kelas kami dan kelas-kelas dua lainnya sebaliknya justru sering mendapatkan hukuman karena dicap malas, bodoh dan nakal. Jadi The Killers adalah genk yang ingin mempertegas eksistensinya di sekolah dan bentuk perlawanan kami terhadap kelas khusus!

Akhirnya kami bersepakat untuk membuat baju kaos persatuan. Tidak hanya dari kelas kami yang mendaftarkan diri untuk membuat baju tetapi ada banyak dari kelas lain yang juga tertarik. Baju itu dasarnya berwana hitam, bagian depannya adalah logo kami dan bagian belakangnya ada gambar tengkorak. Saya pun sampai sekarang tidak tahu makna logo salib dan tengkorak itu apa. Hahaha. Yang unik dari baju kaos persatuan kami adalah logo nike di bagian dadanya. Mungkin alasannya karena baju ini juga sering dipakai ketika jam olahraga di sekolah, harus sedikit terlihat ada unsur produk olahraganya. Rusak!

Dengan baik hati, guru olahraga kami waktu itu. Sebut saja Ibu Nomi, menawarkan diri mengurus percetakan bajunya. Waktu itu kami tidak berpikir panjang dan tidak usah repot-repot karena beruntung ada yang mau bantu. Belakangan kami tahu dari seorang guru yang sakit hati dengan Ibu Naomi dalam sebuah acara perpisahan untuk kelas tiga yang telah tamat, kalau Ibu Nomi mengambil untung yang banyak dari baju kami yang dicetak. The Killers pun akhirnya bubar tanpa dibubarkan karena anggotanya telah memilih jalan-jalannya masing ketika sudah tamat SMP. Ada yang menjadi fansnya Kangen Band, ST 12, Ungu dan Peterpan.

Pengalaman kedua saya menjadi anggota genk ketika sudah memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMA) tetapi bukan dengan siswa di sekolahan saya. Saya justru bergabung dengan genk anak muda di kampung, genk ini adalah genk yang sudah temurun telah diwariskan oleh anak-anak muda sebelumnya di kampung saya. Om saya, adik dari bapak saya juga merupakan alumni genk ini. Nama genk-nya GEMBEL (Generasi Muda Berbudi Luhur). Sejarah genk ini bermula di awal tahun 2000an ketika lomba balap sepeda antar kampung sedang marak-maraknya digelar tetapi dalam perkembangannya genk ini bertransformasi sesuai kehendak zaman menjadi genk motor. GEMBEL paling aktif berkegiatan di bulan puasa, seperti mengikuti lomba taruhan drag race liar ketika menjelang buka puasa, membangunkan sahur satu kampung dan jalan-jalan subuh untuk mencari bunga desa dari tetangga kampung. Asikkkkk.

Saya pun mulai tidak aktif di GEMBEL ketika sudah mulai melanjutkan kuliah di Kota Makassar. Tahun 2009 GEMBEL pun berafiliasi menjadi salah satu pendukung calon bupati dengan alasan politiknya agar si calon bupati ini bisa mencetakkan baju gratis untuk anak-anak GEMBEL di kampung. Saya adalah salah satu yang mendapat jatah baju gratis itu dan menjadi bahan tertawaan di kampus ketika waktu itu saya memakai baju tersebut untuk kuliah. Buta politik memang berbahaya kawan!

Dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya pun akhirnya didapuk menjadi tetuah dari genk The Kablams hingga batas waktu yang tidak ditentukan. The Kablams sendiri lahir dari celotehan-celotehan kami berlima selama berkomunitas. Kami sering bergantian melontarkan kata Kabulamma ketika kami melihat dan mendengar hal-hal yang lucu, aneh dan kaku dari kami berlima. Kabulamma sendiri dalam bahasa Makassar berarti kurang ajar dan kata ini memang maknanya kasar tetapi kami berlima mengubah makna kata tersebut sebagai simbol begitu eratnya persahabatan kami yang kurang beruntung ini. Supaya lebih keren terdengar kami mengubahnya menjadi “The Kabblams”. Kenapa bukan The Suntalas, The Telasos, The Asuss, The Suntilis atau The Kabulampess? Yah, ini mengalir dan tidak terencanakan karena dibalik semua ini adalah rencana baik Tuhan kepada semua anggota The Kablams.

Dalam keanggotaan kami, ada gelar dalam memanggil nama setiap anggota. Mulai dari Kablam 01, Kablam 02, Kablam 03, dan Kablam 04. Kecuali saya yang dipanggil sesepuh, bukan soal usia tetapi pengalaman jatuh berkali-kali kata mereka yang kabulamma ini. The Kablams tidak punya program atau kegiatan yang direncanakan karena memang lahirnya tidak direncanakan. Tapi yakinlah para anggotanya selalu melihat dunia dengan cara dan tindakan yang kabulamma! Saya akan memperkenalkan satu persatu anggota The Kabbulamma tetapi setelah kalian yang membacanya mendoakan kami untuk menjadi manusia yang berbakti pada orang tua, bangsa dan negara. (Bersambung).


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...