Langsung ke konten utama

Tahun Pemilu yang biasa-biasa saja






Parlementair demokrasi adalah hanya ideologi politik, Parlementair demokrasi memberi kans yang sama secara demokratis kepada semua orang di bidang politik, itupun zoegenaamd [seharusnya]. Sebab dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda. Parlementair demokrasi adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik. ….. … kita dus sebenarnya tidak boleh memakai parlemantaire demokrasi.(Soekarno)

“Biarkan saja mereka bertengkar”, adalah jawaban saya dari pernyataan salah seorang teman yang memberikan pandangan tentang pentingnya kita mengambil sikap politik dengan masuknya kita pada arus politik kekuasaan dan kemudian memperbaiki keadaan. Lebih lanjut saya mengatakan bahwa itu hanya sesuatu hal yang membuang energi, karena pada faktanya ada banyak orang dari ragam latar belakang yang tidak masuk ke ranah politik praktis kekuasaan tetapi bisa juga memberikan kontribusi positif bagi orang banyak. Dan itu juga merupakan politik dengan pandangan politik, sikap dan cara mereka yang berbeda melihat keadaan. Meskipun memang semua sendi-sendi kehidupan di negeri ini dipengaruhi oleh kekuasaan politik dengan kebijakan politiknya.

Negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia tentu menjadikan pemilu sebagai pesta demokrasi yang akan kemudian kelak melahirkan figur-figur politik dari beberapa golongan atau partai yang menduduki kekuasaan eksekutif dan legislatif. Yang terpilih dan duduk dalam kursi kekuasaan akan memperjuangkan aspirasi rakyat demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan. Itu konon harapannya, dan saya pun juga sepakat bahwa politik adalah alat untuk mencapai tujuan tetapi ketika kita melihat pemilu menjadi satu-satunya ruang besar untuk mendapatka hak-hak asasi sebagai warga negara dengan mengandalkan para figur-figur yang telah terpilih dalam kekuasaan politik, menurut saya sepertinya kita harus meninjau ulang dengan sedikit lebih objektif tentunya dengan melihat arus sejarah politik dan kedudukan negara Indonesia dalam kancah geopolitik ekonomi Internasional saat ini.

Awal Pemilu di Indonesia
Pemilu pertama tahun 1955 yang diikuti kurang lebih dari 30 partai dan ratusan calon perseorangan untuk memilih untuk anggota DPR dan Konstituante mendapatkan kritikan keras dari Presiden Soekarno. “Pemilah Umum djangan mendjadi tempat pertempuran, perdjuangan kepartaian jang dapat memetjah persatuan bangsa Indonesia”. Pesan Soekarno dalam poster-poster yang beredar pada tahun 1955 mendekati pemilihan umum. Tetapi dari aspek penyelenggaran, meskipun dengan kondisi yang terbatas pemilu pertama sering kali disebut sebagai pemilu paling jujur dan demokratis selama penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan tingkat partisipasi rakyat yang mencapai lebih dari 90 persen.

Pemilu di Indonesia lahir di zaman Demokrasi parlementer yang merupakan adopsi demokrasi yang berasal dari hasil revolusi Prancis pada 1789 dengan melahirkan kekuasaan masyarakat borjuis. Rakyat miskin khususnya kaum tani yang punya andil besar dalam revolusi Prancis dengan berhasil menggulingkan kekuasaan politik monarki tetapi kemudian dalam perkembangannya justru keluar dari arena konstestasi politik dan diambil alih oleh kelompok borjuasi dengan membuat kebijakannya yang mengurangi ruang rakyat dalam berdemokrasi dengan menghadirkan konsep demokrasi parlementer. 

Meskipun demokrasi parlementer memiliki hak dipilih dan memilih yang sama tetapi pada prakteknya menurut Soekarno, bahwa proses demokrasi parlementer setiap orang memerlukan kampanye, propaganda dan logistik. Dan yang memiliki kesemua itu adalah kelompok borjuis atau kelompok yang memilik modal besar. Lebih lanjut, Soekarno mengatakan demokrasi parlementer adalah ruang politik kapitalisme sebab demokrasi parlementer hanya memberikan ruang demokrasi politik melalui pemilu tetapi tidak pada konteks demokrasi ekonomi untuk rakyat. Dan faktanya pada periode demokrasi parlementer selama rentan waktu 1950 hingga 1959 terjadi kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di parlemen menyebabkan terjadinya tujuh kali pergantian kabinet sehingga menghambat arah pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru.

Pandangan Soekarno terhadap demokrasi parlementer dan pemilu di Indonesia adalah kritik dari sistem multipartai yang berasal dari pemikiran barat yang akan memunculkan sekat-sekat, perpecahan dan bisa memicu terjadi disentegrasi bangsa. Puncaknya adalah dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli tahun 1959 dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 yang menetapkan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pada periode ini, Soekarno menyebutnya “Penemuan Kembali Jalannya Revolusi Kita” dengan pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1955 berjudul MANIFESTO POLITIK yang sesungguhnya mencoba untuk mencari alternatif demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sebagai alat untuk terciptanya negara kesejahteraan. 

Tidak hanya itu, pada awal tahun 1960an lahirlah gagasan politik Soekarno dalam upaya menuju persatuan nasional dengan merangkul semua ideologi masyarakat Indonesia dengan istilah NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Menurut Profesor Bernhard, salah seorang peneliti Jerman yang menulis biografi Soekarno, bahwa tahun 1960 Soekarno memperkenalkan konsep Pancasila dan NASAKOM di hadapan sidang umum PBB sebagai tawaran alternatif bagi perdamaian dunia dan sebagai jawaban dari ketidakstabilan politik bagi masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia.

Pura-pura Pemilu di Orde Baru
Kudeta merangkak meminjam istilah Peter Dale Scoot yang dilakukan oleh salah seorang Letnan Jenderal di tubuh militer Angkatan Darat, yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan rangkaian pembunuhan massal setelah peristiwa tersebu mengakibatkan runtuhnya pemerintahan Soekarno atau akhir dari era Demokrasi Terpimpin dan lahirnya Pemerintahan Orde Baru. Hilmar Farid yang saat ini menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan, pernah mengatakan bahwa Peristiwa 1965 itu sangat mempengaruhi tidak saja perkembangan politik hingga saat ini, tapi juga menjadi syarat penting bagi perkembangan kapitalisme di Indonesia. 

Pemerintahan Orde Baru mengubah arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih bertumpu pada utang luar negeri dan investasi dengan memberi akses seluas-luasanya bagi arus modal asing atau swasta untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undangan Penamanam Modal Asing tahun 1967, setahun setelah runtuhnya kekuasaan Presiden Soekarno.

Penguasa Orde Baru sukses menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun sekali tetapi dalam konteks demokratisasi, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa Orde Baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai loyal pada salah satu partai penguasa.

Pemilu di zaman tersebut hanyalah sekedar menggugurkan tanggung jawab prosedural sebagai salah satu negara demokrasi tetapi ruang-ruang politik rakyat dipenjara bahkan untuk sekedar mengkritik penguasa justru akan mendapatkan tindakan kekerasaan yang bahkan berujung pada penculikan dan pembunuhan para pejuang hak asasi. Di periode ini penulisnya menyebutnya, pemilu hanyalah kepura-puraan karena pemenang pemilu sudah bisa dipastikan.

Pasca Reformasi, Pemilu dan Harapan yang biasa-biasa saja.
Di zaman Reformasi, ruang bagi rakyat untuk berpolitik kembali hadir karena hasil perjuangan rakyat melawan Pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan penyelenggaran Pemilu pada tahun 1999 diikuti oleh sekitar 48 partai politik. Dan pada Pemilu tahun 2004 hingga saat ini, rakyat boleh memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden, Kepala dan Wakil Kepala Daerah lengkap bersama dengan anggota-anggota legislatif yang akan menjadi wakil rakyat. Tentu sekilas, kita melihat ini sebagai suatu kemajuan dalam berdemokrasi akan tetapi apakah pemilu menjadi harapan yang dapat dipercaya oleh rakyat dalam menghadapi kompleksitas permasalahan yang masih belum terpecahkan hinnga saat ini seperti kemiskinan dan ketidakadilan dalam berbagai sektor rill yang dirasakan rakyat? Atau apakah dengan kondisi saat ini, terjun ke dunia politik kekuasaan adalah keputusan yang tepat?

Apa yang dikhawatirkan oleh Soekarno, terbukti betul terjadi. Perpecahan dan adu domba sesama rakyat. Kita bisa melihat di beberapa kota dan daerah di Indonesia benturan dan konflik yang berujung pada kekerasan hanya sekedar untuk mempertahankan calon dan kepentingan partainya masing-masing. Dan menurut penulis hal itu biasa-biasa saja, karena orientasi partai politik dan orang-orang yang berada di dalamnya patut kita pertanyakan secara kritis dengan melihat apa-apa saja perubahan yang telah dilakukan semenjak mereka berada dalam lingkaran kekuasaan. Apakah pro rakyat atau pro pemodal? Bukan rahasia umum lagi bahwa kedudukan negara kita bukanlah negara yang berdaulat secara ekonomi, politik dan kebudayaan meskipun negara ini sudah merdeka sejak tahun 1945. Profesor Jose Maria Sison, mendefinisikan semi-kolonial sebagai situasi dimana seluruh keputusan politik, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat ditentukan oleh negara kapitalis terutama oleh Amerika Serikat pasca-Perang Dunia Kedua. Karena itu, status sebagai negara jajahan praktis tetap bertahan, baik sebelum maupun sesudah gelombang pasang kemerdekaan bangsa pasca perang dunia kedua. Dalam kasus Indonesia, status sebagai negeri jajahan tidak pernah terputus, baik dari sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Hanya saja, tuan kolonial dan sistem penjajahannya yang berubah..

Dalam bidang ekonomi, bahkan lebih banyak lagi bukti yang mempertegas bahwa Indonesia di bawah kekuasaan hingga tidak pernah melepaskan statusnya sebagai negeri jajahan. Mari ambil contoh yang paling signifikan adalah, pengerukan dan penguasaan sumber-sumber daya alam di Indonesia yang mayoritas berada di tangan perusahaan-perusahaan kapitalisme global. Di bawah pemerintahan saat ini, kondisi perekonomian rakyat tidak mengalami perubahan berarti. Paket Kebijakan Ekonomi dan pembangunan mega proyek strategis nasional serta kebijakan neoliberal yang tetap bertumpu pada utang dan investasi merupakan bentuk pelayanan maksimal penguasan negara bagi kepentingan kapitalisme internasional. Seluruh kebijakan tersebut telah memberi dampak yang merugikan terhadap rakyat. 

Bisa kita lihat data kasus-kasus perlawanan rakyat di berbagai wilayah Indonesia. Seperti perlawananan rakyat Kulon Progo di Yogyakarta yang menolak pembangunan Bandara Baru Internasional, penolakan nelayan terhadap proyek reklamasi seperti di Jakarta, Bali dan Makassar serta ratusan konflik-konflik agraria di wilayah pedesan Indonesia adalah sebagian kecil contoh protes dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap rakyat. Dari fakta tersebut juga, kita melihat rangkaian proses advokasi yang dilakukan oleh rakyat yang sangat jarang mendapatkan dukungan politik dan keberpihakan dari para wakil-wakilnya yang berada di lingkaran kekuasaan. Belum lagi kita menyinggung gaya hidup para politisi kita yang serba mewah ditengah penderitaan rakyat. 

Jadi mustahil pemilu di Indonesia tidak akan menyentuh aspek subtansial atau menjadi solusi dan jalan keluar dari krisis demi krisis yang dihadapi karena konsekuensinya sebagai negara tidak berdaulat dan harus tunduk pada aturan ekonomi politik Internasional yang telah disusun sedemikin rupa oleh negara-negara kapitalisme dengan lembaga-lembaga ekonominya seperti World Bank, WTO dan IMF.

Sudah menjadi tradisi pula bagi partai-partai di Indonesia ketika mendekati tahun-tahun pemilu kembali mencoba untuk meyakinkan rakyat dengan janji-janji kesejahteraan dan memperkenalkan kader-kadernya yang akan bertarung dalam pemilu nantinya. Semua partai politik dewasa ini dengan percaya dirinya dan bahkan ada yang mengaku sebagai Partai Tuhan mengatakan akan mengubah kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Menurut penulis, hal-hal itu biasa-biasa saja terjadi karena sejak reformasi janji-janji politik adalah lumrah tetapi setelah pemilu kembali dilupakan dan hanya berkutat pada perebutan kursi dan kekuasaan. 

Para pembaca bisa juga melihat bahwa mayoritas partai yang di Indonesia ini dimiliki oleh para pebisnis besar yang juga merangkap sebagai politisi dengan rekam jejaknya yang tidak jarang banyak hal yang kontroversial bisa kita temukan. Partai butuh uang, karena ongkos politik di Indonesia begitu mahal dan bisa kita bayangkan bagaimana para pengusaha-pengusaha memberikan dukungan modal kepada partai dan calon-calonnya agar bisa terpilih dan menjamin kepentingan bisnisnya kedepan. Inilah demokrasi ala borjuis, yang hanya akan dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kekayaan berlimpah. Jangan heran ketika para wakil-wakil rakyat kita kebanyakan berasal dari latar belakang pengusaha yang terbukti korupsi dengan memainkan anggaran atau menerima suap agar memuluskan izin proyek-proyek besar. 

Mantan Ketua Mahkamah Kontitusi Mahfud MD juga menyebutkan fakta selama bertugas, bahwa ada praktik jual beli pembuatan Undang-Undang sehingga menyebabkan kualitas Undang-Undang tidak menguntungkan rakyat banyak. Lebih lanjut segala cara akan tetap menjadi halal untuk kekuasaan. Dulu, kampanye hitam dengan menggunakan SARA (Suku, Agama dan Ras) masih tidak terlalu besar dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tetapi sekarang kita bisa melihat dengan perkembangan digitalisasi dan informasi secara terbuka bagaimana menggunakan SARA untuk menyebarkan ujaran kebencian menjadi senjata yang ampuh selain politik uang. Tentu ini efektif bagi partai politik dan calonnya dengan kondisi budaya literasi masyarakat Indonesia dalam menyeleksi kebenaran informasi masih begitu rendah sehingga berita Hoax akan sering kita jumpai dalam pemilu di tahun 2018 dan 2019.

Dengan kondisi gambaran yang telah dijelaskan meskipun masih kurang detail karena masih banyak begitu fakta yang belum diungkap tetapi setidaknya mencoba memberi gambaran nyata mengenai kondisi demokrasi di Indonesia dengan pesta demokrasi pemilu yang semakin dekat, bagaimana sikap politik kita? Penulis sendiri, sudah membuang jauh-jauh harapan akan keterlibatan dalam arus politik kekuasan yang tetap akan didominasi oleh kekuasaan dan jaringan atas modal. Penulis juga tidak akan berani memberikan solusi yang terkesan melangit dikarenakan dari segi tindakan teori dan praktek, nyatanya penulis masih belum bisa memberikan kontribusi banyak terhadap rakyat. Sebaliknya kita perlu banyak belajar dari gerak sejarah bahwa pertentangan akan terus ada antara mereka yang menindas dan tertindas dalam sebuah dominasi sistem dan mereka (rakyat) yang tertindas akan terus bergerak ke kondisi yang lebih maju.

Akan lebih baik jika energi kita dikumpulkan untuk lebih giat lagi belajar, membaca, berkarya dan yang paling penting adalah memberikan dukungan aktif kepada rakyat yang saat ini memperjuangkan hak-hak asasinya sebagai warga negara. Sekali lagi tahun pemilu adalah hal yang biasa-biasa saja karena sejarah Pemilu Indonesia adalah sejarah janji, politik adu domba dan hasrat kuasa kepentingan golongan.

Tulisan diterbitkan di http://karebanu.com/tahun-pemilu-yang-biasa-biasa-saja/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teripang, Tarekat, dan Tionghoa (Sebuah Catatan Perjalanan Riset di Pulau Barrang Lompo)

Bulan ini cukup padat, beberapa deadline pekerjaan harus segera diselesaikan. Rencananya agenda ke Pulau Barrang Lompo pada akhir bulan April tetapi tertunda. Akhirnya baru bisa berangkat pada Selasa, 07 Mei 2024 setelah mengutak-atik ulang agenda kerja dan bernegosiasi ulang dengan beberapa "juragan". Sejarah umat manusia tidak bisa lepas dari aktivitas negosiasi termasuk segala keputusan politik yang memulai perang dan mengakhiri perang. Sepertinya ini sudah mulai agak melebar pembahasannya. Okelah , saya memulai bernegosiasi dengan beberapa teman untuk mengajaknya ke Pulau Barrang Lompo. Semua teman yang saya ajak ternyata tidak bisa ikut dengan berbagai alasan. Mungkin tawaran saya dalam bernegosiasi kurang menarik bagi mereka. Seharusnya saya menawari mereka bagaimana lezatnya mencicipi Sup Teripang di Pulau Barrang Lompo. Sup teripang itu memang ada di Pulau Barrang Lompo, bukan hanya makanan khas dari negeri Tiongkok. Menurut Uci (26), untuk teripang yang suda

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama