Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

Selamat Bermusyawarah Rumah!

"Rumah tetaplah rumah, sekali kau sebut rumah artinya sekeping hatimu akan tinggal disana". (Aditia Yudis) Membangun   rumah tidak hanya sekedar menjadi tempat tinggal. Kita bisa lihat bagaimana rumah-rumah panggung di Sulawesi Selatan yang ternyata memiliki makna filosofis. Misalnya, Suku Bugis yang memandang rumah sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat kita lahir, tumbuh besar dan kembali menjad tanah. Rumah panggung Suku Bugis terdiri dari tiga bagian, yaitu Rakkeang (dunia atas), Ale Bola (dunia tengah) dan Awa Bola (dunia bawah) yang   kontruksinya memilik makna tentang harmonisasi Tuhan, alam dan Manusia.  Rumah sejarah yang bersejarah adalah rumah kedua saya setelah rumah di kampung. Rumah yang memasuki tahun ke-20 bermusyawarah sejak kampus yang berubah dari institut menjadi universitas. Menjadi salah satu penghuni rumah dari sekian banyak penghuni, bagi saya adalah kebanggaan tersendiri meskipun kontribusi yang saya berikan bisa dikatakan masih begi

Ibu Mega: Sosok Perempuan Pesisir yang Peduli Terhadap Pendidikan

Kami mendapat suntikan energi baru, setelah menyelenggarakan agenda pembahasan kurikulum Kelas Anak Pesisir Komunitas Ruang Abstrak Literasi, esoknya kami langsung mengajak Teman Belajar yang baru untuk meninjau lokasi-lokasi yang dijadikan sebagai ruang kelas terbuka Kelas Anak Pesisir, yakni di kompleks Makam Raja-Raja Tallo, Pantai Marbo Tallo dan di salah satu beranda rumah masyarakat Kampung Karabba. Lokasi yang terakhir di Kampung Karabba adalah lokasi baru kami untuk membuka Kelas Anak Pesisir. Tidak jauh dari Pantai Marbo Tallo   sekitar kurang lebih satu kilometer, kita sudah tiba di lokasi   yang masih termasuk bagian dari Kelurahan Tallo tersebut. Pemukiman padat, tidak tertata dan terkesan kumuh yang berada di atas laut. Rumah-rumah penduduk semuanya terbuat dari kayu dan jembatan kayu seadanya sebagai penghubung dari rumah ke rumah yang hampir ambruk   adalah gambaran lokasi baru Kelas Anak Pesisir di Kampung Karabba. Ibu Mega adalah salah satu masyarakat yang berbaik

Tahun Pemilu yang biasa-biasa saja

‘ Parlementair demokrasi adalah hanya ideologi politik, Parlementair demokrasi memberi kans yang sama secara demokratis kepada semua orang di bidang politik, itupun zoegenaamd [seharusnya]. Sebab dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda. Parlementair demokrasi adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik. ….. … kita dus sebenarnya tidak boleh memakai parlemantaire demokrasi.(Soekarno) “Biarkan saja mereka bertengkar”, adalah jawaban saya dari pernyataan salah seorang teman yang memberikan pandangan tentang pentingnya kita mengambil sikap politik dengan masuknya kita pada arus politik kekuasaan dan kemudian memperbaiki keadaan. Lebih lanjut saya mengatakan bahwa itu hanya sesuatu hal yang membuang energi, karena pada faktanya ada banyak orang dari ragam latar belakang yang tidak masuk ke ranah politik praktis kekuasaan tetapi bisa juga memberikan kontribusi positif bagi orang banyak. Dan itu juga merupakan

Pemilik Pagi

Aku menyebutnya Pemilik Pagi. Dia yang datang pelan-pelan menyembuhkan luka. Semua butuh waktu untuk memulai dari setiap kekalahan, kelelahan dan ketidakpastian. Cinta dan luka adalah wujud dari kekuatan dan kelemahan manusia.  Pemilik Pagi adalah kesederhanaan dalam menanti senja. Pada langit, pada hujan, pada pelangi dan lagu-lagu dengan iringan gitar akustik yang bersenandung menyambut paginya. Tidak ada manusia bisa menebak masa tetapi aku perlahan bangun untuk memulai asa. Semoga semesta merencanakan hal-hal yang baik. aku bukan matahari, Pemilik Pagi, cahaya yang melampui batas semesta penghuni bumi sibuk merayakan kesakitan setiap tahunnya mereka menyebutnya bumi punya hari mereka itu siapa ? mereka juga yang melukai bumi dan tanah berontak menyatu, pecah! Kita seumpama berandai-andai Pemilik Pagi, ketika matahari telah lelah berhenti memberi terangnya pada bumi apa yang akan kita harap? Jadilah gelap seluruh dan seutuhnya tidak!

Ababil F.C dan mimpi anak-anak Lebba'E

Kemenangan dan kekalahan adalah hal yang pasti dalam setiap kompetisi, tetapi kalah dengan alasan yang sama justru menurut saya adalah suatu kondisi dimana kita tidak belajar dari kekalahan itu untuk menjadi lebih kuat lagi kedepannya. "Seandainya dari dulu ada lapangan bola ta', pasti susah mi na kalahki juga lawan dan bisa ki juara". Kalimat kekecewaan itu keluar dari salah seorang anak muda Lebba'E pada saat perjalanan pulang setelah kekalahan tipis dikompetisi beberapa hari yang lalu. Kalimat itu sudah berulang kali saya dengarkan ketika Ababil F.C. yang merupakan klub kebanggaan kampung kami mengalami kekalahan pada partisipasinya disetiap kompetisi.  Anak-anak muda Lebbae'E dipersatukan oleh rasa cinta terhadap sepakbola meskipun kenyataannya di kampung kami tidak ada sama sekali lapangan sepakbola. Saya masih ingat sewaktu SD, ada beberapa tempat yang kami sulap menjadi tempat bermain bola. Mulai dari halaman SD 75 Lebbae'E, pabrik pengolahan p

Merayakan Multatuli, Merawat Kemanusiaan

Dilupakan Perang telah berakhir. Ada darah, tangis air mata kehilangan, kemenangan yang melelahkan. Monumen berdiri tegak. Simbol harapan generasi kelak, merawat kebebasan Tetapi... Sejarah kemudian diceritakan sepotong-sepotong Semua berlomba-lomba membuat panggung, lalu diceritakan bahwa saya adalah yang paling berjasa Sementara... Dilupakan, itulah dia Sosok yang membunuh kolonialisme. “Biarlah aku menderita,” bisiknya.. *Makassar, 02 Agustus 2018* Aku lebih menderita Aku bicara dalam kalimat yang begitu indah. Kumpulan kata-kata bijak, tentang kisah cinta. Kita menyebutnya cinta, terbatas aku dan kamu. Aku menjadi nabi bagi mereka yang membuka cinta dengan hanya satu pintu. Menjadi populis, mereka menyebutku sang penyair cinta Setiap tulisanku haruslah baik, baik untuk diriku. Aku menulis memang hanya untuk diriku, diriku dan pengikutku Sastra hanya untuk sastra, seni hanya untuk seni. Aku tidak ingin menulis untuk menderita Hidup

September yang Patah dan Tumbuh Kembali.

ingatlah hari itu juga, detik itu juga, aku akan melepaskan tanganku dan akarku akan berlayar mencari negeri baru. (Pablo Neruda) Saya sedikit lega, setidaknya proposal tesis saya akhirnya bisa selesai. Sebelumnya karena saya sedikit ceroboh, proposal yang saya kerjakan sudah hampir 90 persen rampung tersebut terhapus karena kondisi laptop yang rusak dan saya juga lupa menyiapkan data cadangan ketika itu. Tidak ada pilihan, saya menulis ulang kembali proposal itu. Syukurnya, itu tidak terjadi jika yang terhapus itu adalah hasil penelitian akhir. Saya tidak bisa bayangkan dan semoga saja tidak terjadi. Tuhan memang selalu punya cara mengingatkan kita yang terbatas untuk lebih berhati-hati menyikapi dalam menghadapi segala hal. Termasuk cara Tuhan mengingatkan kita untuk memaknai luka dan kehilangan. Di bulan ini, para pejuang hak asasi di Indonesia menyebutnya dengan "September Hitam". Pembantaian tahun 1965 adalah sebuah awal episode bangunan kekuasaan rezim tan