Bulan ini cukup padat, beberapa deadline pekerjaan harus segera diselesaikan. Rencananya agenda ke Pulau Barrang Lompo pada akhir bulan April tetapi tertunda. Akhirnya baru bisa berangkat pada Selasa, 07 Mei 2024 setelah mengutak-atik ulang agenda kerja dan bernegosiasi ulang dengan beberapa "juragan". Sejarah umat manusia tidak bisa lepas dari aktivitas negosiasi termasuk segala keputusan politik yang memulai perang dan mengakhiri perang.
Sepertinya ini sudah mulai agak melebar pembahasannya. Okelah, saya memulai bernegosiasi dengan beberapa teman untuk mengajaknya ke Pulau Barrang Lompo. Semua teman yang saya ajak ternyata tidak bisa ikut dengan berbagai alasan. Mungkin tawaran saya dalam bernegosiasi kurang menarik bagi mereka. Seharusnya saya menawari mereka bagaimana lezatnya mencicipi Sup Teripang di Pulau Barrang Lompo.
Sup teripang itu memang ada di Pulau Barrang Lompo, bukan hanya makanan khas dari negeri Tiongkok. Menurut Uci (26), untuk teripang yang sudah dikeringkan direndam terlebih dahulu selama satu hari. Setelah itu direbus selama kurang lebih dua jam. Jika ukuran teripangnya sudah mulai membesar dua kali lipat, maka teripang sudah siap untuk diolah menjadi sup. Kuah supnya menggunakan bumbu seperti kuah coto. Saya berkelakar ke Uci, kenapa tidak disebut saja Coto Teripang kalau bumbu kuahnya sama.
“Memang daging teripang hambar ki rasanya tetapi kalau sudah diolah jadi sup enak ji juga dimakan” kata Uci.
Lalu siapakah Uci? Nama sebenarnya adalah Irwan. Uci adalah nama panggilan akrabnya. Matanya sipit, tubuhnya kekar dengan tinggi badan sedang dan kulitnya cokelat legam karena sering terpapar matahari. Saya berkenalan dengannya di kapal penumpang atau pappalimbang yang bersandar di Dermaga Kayu Bangkoa. Saat mencari tempat duduk di kapal, disitulah pertama kali saya bertemu Uci.
“Cika’, jam berapa berangkat kapal ke Barrang Lompo?” tanya saya ke Uci.
“Sekitar jam sebelas om” jawabnya.
“Apa agenda ta ke Barrang Lompo?” lanjut Uci bertanya balik.
"Mau ka’ pergi ziarah ke makam Sayyid Alwi bin Abdullah. Sekalian juga mau wawancara beberapa masyarakat untuk penelitianku” jawabku ke Uci sambil menawarinya rokok filter merek Gudang Garam Surya coklat.
Dari pengalaman berinteraksi sebelumnya. Rokok Surya ini ibarat memiliki kasta tertinggi diantara berbagai jenis rokok dan digemari oleh komunitas masyarakat pulau dan pesisir khususnya nelayan. Melalui rokok saya coba membangun suasana yang lebih cair dengan Uci.
Rokok saya diambil dengan tersenyum dan langsung dibakarnya. “Oh Tuan Karama yang kita mau datangi ziarah” balas Uci.
Iye’. Sekalian mau ka juga cari tau’ tentang pencari teripang di Barrang Lompo,” kata saya.
Wah, na saya mi juga itu dulu pencari teripang,” ujar Uci.
“Sebentar nah kita lanjut cerita, saya mau lanjut kerja dulu,” lanjutnya.
Dalam hati saya bergumam. “Masuk ini barang.”
Uci bekerja sebagai salah satu anak buah kapal (ABK) dari kapal pappalimbang yang bernama KM Rahmat Karunia Ilahi. Pemiliknya Haji Dahlan (50) masih memiliki hubungan keluarga dekat dengan Uci. Setiap pagi pukul 07.30, ada sekitar enam kapal pappalimbang di Pulau Barrang Lompo yang menyeberang menuju ke daratan Makassar. Waktu tempuh perjalanan sekitar 40 atau 50 menit lamanya dengan membayar sebesar Rp. 15.000 per orang sekali jalan. Ada kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tradisional Paotere dan ada juga di Dermaga Kayu Bangkoa. Pulau Barrang Lompo secara administrasi adalah ibu kota Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar. Pulau ini cukup padat dengan jumlah penduduk sekitar 4.000 jiwa.
![]() |
Kesibukan Dermaga Pulau Barrang Lompo. Dok. Pribadi. |
Sekitar pukul 11.15, kapal pun meninggalkan Dermaga Kayu Bangkoa dan kembali menuju Pulau Barrang Lompo. Sepanjang perjalanan Uci duduk di samping saya dan bercerita banyak. Saya merasa mulai akrab dengan Uci ketika dia terlihat nyaman menceritakan pengalaman hidupnya. Sebelum menjadi ABK tahun 2021, dia merantau selama 10 tahun di Balikpapan bekerja sebagai nelayan dan pengangkut ikan. Kembali ke Pulau Barrang Lompo tahun 2020, saat dirinya mendengar kabar harga teripang meningkat di pasaran. Selama setahun dia bekerja sebagai pencari teripang.
“Dalam setahun itu kami tiga kali race cari teripang. Satu kali perjalanan ke Pulau Karamian dekat Surabaya itu satu bulan lamanya. Di sekitar Pulau Karamian disitu mi saya menyelam menangkap teripang. Pulangnya itu kapal bisa angkut sekitar satu sampai dua ton teripang,” kata Uci menjelaskan.
"Satu awak kapal itu biasanya dibayar 5 sampai 10 juta sekali race setelah teripang dijual ke pengumpul. Itu mi yang saya tabung untuk modal menikah juga,” lanjutnya sambil tertawa.
Uci menikah dengan Rosmia (23)
pada tahun 2020 dan telah memiliki anak perempuan berusia dua tahun bernama Nur
Naina. Dirinya berhenti menjadi pencari teripang karena pertimbangan risiko
bahaya yang tinggi sebagai penyelam. Selain bekerja sebagai ABK di kapal pappalimbang,
dirinya juga bekerja sebagai petugas pengangkut sampah di kelurahan. Setiap
pagi sekitar pukul 05.30 bersama dengan kakak laki-lakinya berkeliling pulau
mengendarai mini truck pengangkut sampah. Uci kembali ke rumah sekitar
pukul 07.00 dan bersiap-siap menuju dermaga pulau bekerja sebagai ABK. Begitulah rutinitasnya hampir setiap hari
Dermaga pulau mulai terlihat jelas dari kapal. Setelah bercerita banyak hal, Uci pun kembali bersiap menjalankan tugasnya mengumpulkan uang tarif penyeberangan dari penumpang. Setibanya di dermaga, Uci bersama dengan empat ABK lainnya menurunkan barang muatan penumpang yang kebanyakan adalah barang-barang kebutuhan pokok masyarakat di Pulau Barrang Lompo.
Berkeliling Pulau
Sebenarnya ini bukan kunjungan pertama saya ke Pulau Barrang Lompo. Maret 2024 atau bulan puasa kemarin, bersama dengan teman-teman dari Marege Institute, kami singgah di Pulau Barrang Lompo setelah berkunjung ke Pulau Kodingareng. Namun, waktu itu kami hanya sebentar dengan mendatangi makam-makam tua di pulau lalu berjumpa dengan beberapa juragan dan pencari teripang. Dari kunjungan tersebut saya sedikit mendapat gambaran mengenai Pulau Barrang Lompo.
Sebelum kembali lagi ke Pulau Barrang Lompo, saya membaca beberapa tulisan mengenai kedudukan Pulau Barrang Lompo dalam jalur perdagangan teripang ke Marege. Salah satunya tulisan dari Ridwan Alimuddin mengenai pemukiman Suku Bajau dan Suku Mandar di Kepulauan Spermonde. Priyambudi Sulistiyanto atau biasa disapa Pak Budi dari Global Encounters Monash (GEM) dan First Nation Peoples Monash University dalam perjalanan menuju Pulau Barrang Lompo sempat bercerita. Bahwa Campbell Macknight yang menulis buku “The Voyage to Marege”: Macassan Trepangers in Northern Australia” (1976), sewaktu muda pernah berkunjung ke Pulau Barrang Lompo. Teripang kering yang dikumpulkan oleh Campbell di Pulau Barrang Lompo tahun 1969 menjadi salah satu koleksi National Museum Australia.
Kemudian Sejarawan Australia, Peter Spillet dalam tulisannya di Harian Pedoman Rakyat terbitan Jumat, 07 November 1987 menjelaskan bahwa dirinya bertemu dengan Gaddong Daeng Malewa yang telah berlayar ke Marege sebanyak 10 kali bersama dengan teman-temannya. Dia mulai berlayar saat usia 12 tahun ke Marege bersama ayahnya. Tahun 1907 ketika pelayaran berakhir di Marege, dia tetap berlayar hingga ke Irian sampai tahun 1925. Saya tertarik menelusuri keluarga Gaddong Daeng Malewa di pulau ini.
Setelah Uci dan teman-temannya menyelesaikan pekerjaan di kapal, saya kemudian diajak langsung untuk bertemu dengan salah satu narasumber yang berada di depan rumahnya. Beliau adalah Sayyid Abdullah bin Muhammad Al Mahdaly atau biasanya orang-orang di pulau memanggilnya Puang Dollah. Beliau merupakan salah satu keturunan Arab dari Marga Al Mahdaly. Dari beliau saya mendapatkan informasi mengenai Sayyid Alwi bin Abdullah yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad SAW dari Marga Assegaf.
Sosok yang begitu istimewa bagi masyarakat karena perannya dalam menyiarkan dan menyebarkan ajaran Islam di Pulau Barrang Lompo dan Kerajaan Gowa Tallo. Sayyid Alwi juga diyakini merupakan salah satu guru dari Syeikh Yusuf Al-Makassary. Habib Syekh Sayyid Abdul Rahim Assegaf atau biasa disapa Puang Makka, Mursyid Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf Al Makassary, juga sering berziarah ke Makam Sayyid Alwi karena masih merupakan keturunan langsungnya.
Sebelum melanjutkan agenda, Uci mengajak saya istirahat sebentar sekalian makan siang di rumahnya. Sebuah rumah panggung sederhana yang bagian bawahnya telah direnovasi menjadi ruang tamu, kamar, dan dapur. Rumah Uci tidak terlalu jauh dari dermaga pulau. Masyarakat menyebutnya Kampung Cina karena pemukiman di sekitar rumah Uci dihuni oleh beberapa keturunan Tionghoa. Pulau Barrang Lompo merupakan pulau multietnis. Disini juga kita bisa menemukan penduduk dari keturunan Mandar, Bajau, Bugis, Makassar, dan Melayu. Sejak dulu pulau ini memang dikenal menjadi tempat persinggahan sementara sebelum ke pelabuhan Makassar oleh pedagang-pedagang asing.
Uci sendiri merupakan keturunan Tionghoa dari garis ibunya yang bernama Bibi Jantong. Kemungkinan keturunan Tionghoa yang ada di Pulau Barrang Lompo juga berasal pedagang-pedagang Tiongkok yang tiba ke Makassar pada abad ke-17 ketika industri teripang bermula. Mengingat posisi penting pedagang-pedagang Tiongkok sebagai pembeli utama teripang dan sebagai pemodal dalam pelayaran orang-orang Makassar ke Marege. Tentu ini perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal tersebut.
Istirahat selesai, saya dan Uci melanjutkan agenda bertemu dengan beberapa narasumber kunci. Informasi mengenai beberapa narasumber saya dapatkan setelah menonton saluran youtube Mitologi Sulawesi yang membahas sejarah Sayyid Alwi di Pulau Barrang Lompo. Narasumber-narasumber tersebut ternyata dikenal baik oleh Uci. Namun terlebih dahulu kami berziarah ke Makam Sayyid Ali yang berada di samping Mesjid Nurul Yaqin, yang merupakan mesjid tertua di Pulau Barrang Lompo.
![]() |
Makam Sayyid Alwi. Dok. Pribadi |
Setelah berziarah, kami pun mengunjungi Haji Sultan (74) yang merupakan salah satu tokoh masyarakat yang memimpin ritual sebelum nelayan pergi melaut menangkap ikan atau teripang. Saya yang terbatas menguasai Bahasa Makassar dibantu oleh Uci untuk menerjemahkan pertanyaan dan jawaban dari Haji Sultan. Disinilah Haji Sultan menjelaskan, sebelum berangkat melaut ada tradisi dimana nakhoda terlebih dahulu berziarah ke Makam Sayyid Alwi. Niatnya bukan untuk meminta-minta kepada penghuni makam tetapi berdoa kepada Allah SWT semoga semuanya diberikan keselamatan dunia dan akhirat.
Selanjutnya Uci mengantar saya ke beberapa awak dan nakhoda kapal pencari teripang. Menurut Uci banyak laki-laki terutama pemuda di Pulau Barrang Lompo adalah pencari teripang sehingga tentu mudah untuk ditemui. Salah satu nakhoda yang saya temui adalah Irwan (47). Rumahnya tepat berada di depan laut. Irwan menceritakan pengalaman menariknya ketika mencari teripang hingga ke perairan Australia tahun 1994. Waktu itu usianya masih remaja 17 tahun dan ditangkap oleh pihak imigrasi Australia dan ditahan beberapa hari di Darwin, ibukota negara bagian Australia Utara. Irwan bersama awak kapal lainnya membuat tato di lengannya bertuliskan 45 sebagai kenang-kenangan pernah ditangkap saat mencari teripang di Australia.
![]() |
Teripang yang dikeringkan. Dok. Pribadi. |
Sorenya sekitar pukul 16.00, kami menuju narasumber terakhir bernama Haji Darwin (58). Salah satu tokoh masyarakat dan keturunan Gallarang atau kepala pemerintahan zaman Kerajaan Gowa-Tallo di Pulau Barrang Lompo. Kami diterima dengan ramah karena Uci juga merupakan murid dari Haji Darwin sewaktu masih di sekolah dasar.
“Barrang Lompo disebut Butta Barakka Lompoa. Lompo itu besar, barakka itu berkah. Pulau ini disebut berkah besar karena disinilah tempat orang-orang yang berkah besar salah satunya yang utama adalah Sayyid Alwi Assegaf. Banyak pembesar kerajaan dan ulama besar di makamkan di Barrang Lompo,” terang Haji Darwin.
“Lalu mengenai keturunan Arab di Barrang Lompo itu terdiri dari dua marga, yaitu Al Hasni dan Mahdaly. Salah satu ulama di Barrang Lompo setelah Sayyid Ali berasal dari Marga Al-Hasni. Namanya Haji Daeng Parau, dikenal dengan sebutan Puang Awalli. Beliau adalah guru besar tarekat di Barrang Lompo. Muridnya sampai ada yang berasal dari Maros dan Pangkep. Diperkirakan beliau wafat sekitar tahun 1800-an dan di makamkan juga disini,” lanjut Haji Darwin.
Dari Haji Darwin juga kami mendapatkan temuan yang menarik mengenai Uci dan keturunannya. Salah satu masjid yang lokasinya tidak jauh dari kantor kecamatan, yaitu Masjid Nurul Mustaqim didirikan oleh keturunan Tionghoa pada tahun 1955. Namanya Haji Muhammad Idrus, panggilannya Baba Caddi. Masih memiliki garis keturunan dari ibunya Uci. Baba Caddi adalah salah satu juragan teripang yang sukses di Pulau Barrang Lompo pada zamannya.
Di tahun 1950-an atau 1960-an beberapa dari orang Barrang Lompo memilih merantau ke wilayah Jawa Timur dan sukses menjadi juragan teripang. Seperti di Banyuwangi ada Pak Rasyid. Lalu di Panarukan-Situbondo ada Haji Hanafi. Kemudian Baba Caddi di Pasuruan. Mereka membeli teripang dari orang-orang Barrang Lompo yang mencari teripang di wilayah timur Indonesia, seperti di perairan Maluku. Para juragan teripang ini menetap dan keturunan mereka tersebar di Jawa Timur.
Menurut Haji Darwin, dari cerita orang tua dulu nelayan Pulau Barrang Lompo telah mencari teripang sampai ke Australia dengan menggunakan perahu layar. Saya lalu penasaran dengan sosok Gaddong Daeng Mallewa yang pernah berlayar hingga ke Marege mencari teripang. Akhirnya diskusi kami dengan Haji Darwin menemui titik terang. Di Pulau Barrang Lompo Gaddong Daeng Mallewa dikenal sebagai sosok veteran karena jasanya pernah membantu Andi Mattalatta salah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Pada akhir tahun 1945 Andi Mattalatta bersama pasukannya ketika hendak menyeberang ke Pulau Jawa menggunakan perahu Lambo milik Gaddong Daeng Malewa.
Gaddong Daeng Mallewa dari cerita Haji Darwin adalah nelayan yang sering berlayar ke banyak tempat seperti Maluku, Nusa Tenggara dan Jawa. Termasuk mencari teripang hingga ke Australia. Ia memiliki anak bernama Daeng Baco Gaddong yang pindah ke Madura, kampung halaman istrinya. Dari petunjuk yang diberikan oleh Haji Darwin, kami pun bergegas menuju bekas rumah milik Gaddong Daeng Mallewa. Rumah itu kini menjadi tempat jualan bakso, tepat di depan jalan masuk menuju Masjid Nurul Yaqin.
Bukan Ali Wallace
Sebelum memasuki waktu salat Magrib, kami menyempatkan berziarah ke makam Puang Awalli, ulama dan guru tarekat di Pulau Barrang Lompo. Kemudian Uci mengajak saya menginap di rumahnya. Saya tidak tahu harus berterima kasih seperti apa ke Uci. Dengan segala kebaikannya menemani saya berkeliling pulau dan menemui beberapa narasumber penting. Malam itu kami menikmati ikan bakar katombo dengan sambal kacang olahan dari istri Uci. Saya merasakan ketulusan dari sebuah keluarga kecil di pulau ini.
Keterlibatan Uci dalam penelitian ini membuat saya teringat dengan sosok Ali Wallace. Lelaki Melayu yang menjadi asisten Alfred Russel Wallace dalam ekspedisi ilmiah selama bertahun-tahun dan melahirkan buku The Malay Archipelago tahun 1869. Uci bukanlah Ali yang berperan sebagai asisten dalam penelitian. Peran Uci dalam penelitian saya sangat krusial. Bagi saya Uci adalah narasumber kunci, teman diskusi, dan pemandu yang dapat diandalkan selama di pulau. Seperti Wallacea yang menilai Ali sebagai lelaki muda kompeten dan dapat dipercaya.
![]() |
Penulis bersama Irwan/Uci. Dok. Pribadi. |
Menjelang tidur, Uci menyampaikan ke saya kalau dirinya adalah pengikut salah satu tarekat dan telah dibai’at. Malam itu sebenarnya ada pengajian rutin dari tarekatnya selepas salat Isya tetapi Uci meminta izin untuk tidak hadir karena menemani saya. Menurut Uci tarekat itu sebenarnya jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dari kehidupannya yang penuh dengan dosa kemudian pelan-pelan mulai menjadi manusia yang dekat dengan Tuhan dan begitu takut dengan dosa. Dirinya merasa ada perubahan perilaku dan tutur kata semenjak bertarekat.
Uci mungkin dianggap sebagai pemuda biasa seperti umumnya pemuda di Pulau Barrang Lompo yang sejak kecil sudah bekerja keras mencari nafkah di laut. Namun dari kisah hidup Uci justru kita bisa melihat bagaimana potongan-potongan sejarah orang biasa menjadi semacam memori kolektif di masyarakat. Dalam diri Uci saya menemukan kisah tentang pencari teripang, pengikut tarekat dan keturunan Tionghoa.
Komentar
Posting Komentar