Langsung ke konten utama

Ibu Mega: Sosok Perempuan Pesisir yang Peduli Terhadap Pendidikan


Kami mendapat suntikan energi baru, setelah menyelenggarakan agenda pembahasan kurikulum Kelas Anak Pesisir Komunitas Ruang Abstrak Literasi, esoknya kami langsung mengajak Teman Belajar yang baru untuk meninjau lokasi-lokasi yang dijadikan sebagai ruang kelas terbuka Kelas Anak Pesisir, yakni di kompleks Makam Raja-Raja Tallo, Pantai Marbo Tallo dan di salah satu beranda rumah masyarakat Kampung Karabba. Lokasi yang terakhir di Kampung Karabba adalah lokasi baru kami untuk membuka Kelas Anak Pesisir. Tidak jauh dari Pantai Marbo Tallo  sekitar kurang lebih satu kilometer, kita sudah tiba di lokasi yang masih termasuk bagian dari Kelurahan Tallo tersebut.

Pemukiman padat, tidak tertata dan terkesan kumuh yang berada di atas laut. Rumah-rumah penduduk semuanya terbuat dari kayu dan jembatan kayu seadanya sebagai penghubung dari rumah ke rumah yang hampir ambruk  adalah gambaran lokasi baru Kelas Anak Pesisir di Kampung Karabba. Ibu Mega adalah salah satu masyarakat yang berbaik hati untuk meminjamkan beranda rumahnya sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran setiap hari sabtu dan minggu sore.

Kami beruntung bertemu dengan Ibu Mega, sosok ibu sederhana yang  merelakan mimpi-mimpinya untuk tidak melanjutkan kuliahnya dan memilih bekerja demi membantu biaya pengobatan orang tuanya yang sakit pada waktu itu. Sementara suami Ibu Mega sendiri, Pak Firman bekerja sebagai sopir pribadi yang pendapatannya tidak menentu. Kehidupan keras telah dilalui Ibu Mega sejak kecil dan kesadarannya tentang pentingnya pendidikan sebagai jalan mengubah nasib ditularkan ke anak perempuan satu-satunya bernama Indah yang kini sudah beranjak naik ke kelas enam sekolah dasar. Kami melihat Indah begitu bersemangat dan menikmati setiap hal-hal baru yang didapatkan dari proses belajar di sekolahnya.

Siang itu kami pertama kali bertemu Ibu Mega dan menjelaskan maksud dan tujuan kami mengadakan Kelas Anak Pesisir untuk anak-anak di Kampung Karabba. Singkat cerita.

“Iye, disini anak-anak masih banyak yang belum bisa membaca, ada anak usia kelas 5 SD belum bisa membaca padahal sekolah ji juga,” keluh Ibu Mega menjelaskan.

“Kalau bisa ki' bantu anak-anak disini supaya bisa banyak na tau juga, nanti saya yang cerita sama orang tuanya anak-anak disini supaya na dorong juga anak-anaknya ikut belajar, lanjut Ibu Mega.

“Jadi kapan kami bisa mulai kelasnya Bu?” kata seorang teman kepada Ibu Mega.

“Kalau bisa jaki' sore ini, nda papa juga,” jawab Ibu Mega dengan lugas.

Setelah pertemuan itu, beberapa minggu terakhir  beranda rumah sederhana Ibu Mega berukuran lima kali dua meter didapuk menjadi tempat Kelas Anak Pesisir kami yang baru. Setiap kami ingin memulai kelas, Ibu Mega dengan ikhlas membantu kami memanggil anak-anak dan begitu setianya mengikuti jalannya proses kelas hingga akhir. Kami sendiri agak khawatir dengan kapasitas beranda  rumah Ibu Mega yang sebenarnya hanya memuat sekitar dua puluh orang usia anak-anak sementara ada sekitar tiga puluh anak-anak di Kampung Karabba yang aktif di Kelas Anak Pesisir yang tiap pekannya selalu antusias menunggu kami sebelum kelas di mulai. Mengantipasi kemungkinan terburuk ketika kelas berlangsung, kami pun mendiskusikan hal ini kepada Ibu Mega. Untuk sementara yang bisa kami lakukan adalah menambah beberapa bampu sebagai tiang penyanggah agar rumah panggung sederhana yang berdiri di atas laut ini tidak ambruk.

( Kelas Anak Pesisir di beranda rumah Ibu Mega)

Bagi kami, Ibu Mega adalah pejuang pendidikan yang sesungguhnya, mengajarkan kami tentang semangat untuk terus peduli terhadap kondisi pendidikan anak-anak pesisir yang begitu kompleks permasalahannya. Ada kekuatan dibalik keterbatasan manusia, karena dengan keterbatasan kita dapat merasakan suatu fase titik terendah  dan berusaha untuk mencari jalan keluarnya tetapi tidak semua manusia bisa melewati proses ini. Ibu Mega telah menjadi guru kehidupan dan teladan bagi kami yang selama ini berkutat dalam kekakuan sistem pendidikan formal dan kemudian terjebak hanya untuk sekedar mengejar gaji, pangkat dan jabatan seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia.

Konsep dan tujuan pendidikan telah banyak dicetuskan oleh para tokoh, pakar atau ahli yang pada hakikatnya sama yaitu proses menjadikan manusia untuk mendapatkan ilmu pengetahuan  dan menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, tetapi soal konsep dan tujuan pendidikan negeri ini sama sekali tidak diketahui oleh Ibu Mega karena kepedulian dan semangat Ibu Mega terhadap pendidikan anak-anak pesisir di Kampung Karabba tidak didapatkannya dalam ruang-ruang formal pendidikan itu sendiri melainkan lahir dari kondisi ketidakadilan sistem pendidikan yang dirasakannya langsung dan masih terjadi hingga saat ini. Dan memang betul bahwa pengetahuan sejati adalah pengalaman dari keadaan yang membangun kesadaran itu sendiri. Ibu Mega telah membuktikan hal tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teripang, Tarekat, dan Tionghoa (Sebuah Catatan Perjalanan Riset di Pulau Barrang Lompo)

Bulan ini cukup padat, beberapa deadline pekerjaan harus segera diselesaikan. Rencananya agenda ke Pulau Barrang Lompo pada akhir bulan April tetapi tertunda. Akhirnya baru bisa berangkat pada Selasa, 07 Mei 2024 setelah mengutak-atik ulang agenda kerja dan bernegosiasi ulang dengan beberapa "juragan". Sejarah umat manusia tidak bisa lepas dari aktivitas negosiasi termasuk segala keputusan politik yang memulai perang dan mengakhiri perang. Sepertinya ini sudah mulai agak melebar pembahasannya. Okelah , saya memulai bernegosiasi dengan beberapa teman untuk mengajaknya ke Pulau Barrang Lompo. Semua teman yang saya ajak ternyata tidak bisa ikut dengan berbagai alasan. Mungkin tawaran saya dalam bernegosiasi kurang menarik bagi mereka. Seharusnya saya menawari mereka bagaimana lezatnya mencicipi Sup Teripang di Pulau Barrang Lompo. Sup teripang itu memang ada di Pulau Barrang Lompo, bukan hanya makanan khas dari negeri Tiongkok. Menurut Uci (26), untuk teripang yang suda

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama