Langsung ke konten utama

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78.

"Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya. 

"Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat.

Setelah itu saya menuju ke belakang panggung dan memberikan  ucapan selamat kepada Kika dan teman-temannya yang ikut terlibat dalam pementasan teater boneka. Saya penasaran dan bertanya kepada Ika mengenai ide cerita tentang sosok perempuan pesisir Makassar yang kemudian menjadi jugun ianfu. Istilah jugun ianfu berasal dari perbudakan seks pada masa penjajahan Jepang saat Perang Dunia Kedua. Pemerintah militer Jepang mengumpulkan perempuan-perempuan dari wilayah jajahannya termasuk di Indonesia untuk memaksa mereka menjadi jugun ianfu.

"Percaya atau tidak, saya mulai tertarik mengangkat kisah jugun ianfu melalui seni karena  mimpi ka' di tahun 2018, ketemu dengan sosok perempuan dari pesisir Makassar. Lewat mimpi itu ada semacam pesan yang ingin disuarakan sama perempuan ini. Kisah hidupnya begitu tragis karena dulunya adalah perempuan berpendidikan lalu ditipu dan menjadi jugun ianfu. Perempuan ini disiksa dan dipaksa memenuhi hasrat seksual tentara Jepang. Bahkan sampai mau mencoba bunuh diri" tutur Kika.

Kika pun juga mengajak saya melihat karya lukisannya yang dipamerkan dan menempel di salah satu pohon dekat panggung kegiatan. 

"Ini lukisan saya tentang sosok perempuan jugun ianfu yang saya lihat dalam mimpi, "kata  Kika sambil menunjuk lukisannya.

                              Lukisan perempuan jugun ianfu dari Nur Ikayani. Foto: Ferdhiyadi N/JC                    

Di lukisan tersebut terlihat perempuan dengan rambut yang terurai panjang saling terhubung. Terlihat seperti memeluk kehidupannya sebelum menjadi jugun ianfu. Ada pantai, laut, perahu, dan pemandangan awan putih. Menandakan bahwa perempuan tersebut berasal dari pesisir Makassar.

Menurut Kika, ada yang hilang dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah . Selama ini kita hanya mendapatkan cerita tentang kepahlawanan tokoh-tokoh kemerdekaan. Namun ada sejarah kelam yang seolah disembunyikan tentang perempuan-perempuan yang terpaksa menjadi jugun ianfu dengan perlakuan yang tidak manusiawi dari tentara-tentara Jepang. 

"Pemerintah Jepang saja sudah minta maaf mi sama Pemerintah Korea Selatan karena warganya banyak juga menjadi jugun ianfu dan menjadi korban budak seks tentara-tentara Jepang pada Perang Dunia Kedua. Na yang belum sama sekali ini Pemerintah Jepang meminta maaf kepada korban jugun ianfu di Indonesia. Mungkin pemerintah kita menganggap peristiwa ini aib sejarah jadi terkesan tidak mau memperjuangkan hak-hak korban jugun ianfu dan keluarganya, "sambung Ika menjelaskan.

Kika berencana akan terus menyuarakan cerita jugung ianfu khususnya di Sulawesi Selatan. Ada salah satu mimpi yang ingin ia wujudkan, yaitu pameran khusus yang menampilkan karya-karya seninya tentang jugun ianfu. Bagi saya Kika telah mencoba memerdekakan korban jugun ianfu dengan karya-karya seninya.

Reklamasi dan Island Fest

Selama tiga hari lamanya, dari tanggal 16 hingga 18 Agustus 2023 masyarakat Pulau Lae-lae menggelar kegiatan Island Fest. Beragam jenis kegiatan dilaksanakan seperti, aksi bersih pantai, parade laut, parade layang-layang, live mural, upacara bendera, pameran seni, lomba kreatif, teater boneka, tarian tradisional dan kontemporer, dance, musikalisasi puisi, pasar rakyat, dan pertunjukan musik. Kegiatan ini juga didukung oleh Koalisi Lawan Reklamasi Pesisir (KAWAL Pesisir) yang terdiri dari berbagai elemen organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa.

Menariknya kegiatan Island Fest ini mengangkat tema "Merdeka dari Reklamasi". Sebuah tema yang berangkat dari situasi saat ini dialami langsung oleh masyarakat Pulau Lae-lae, yaitu adanya persoalan terkait rencana proyek reklamasi. 

Sekitar awal Januari 2023 hingga saat ini, masyarakat menyatakan sikap menolak dengan tegas rencana proyek reklamasi di sebelah barat Pulau Lae-lae seluas 12,11 hektar. Lebih luas dibandingkan Pulau Lae-lae yang luasnya sekitar 6,5 hektar. Laut yang yang rencananya akan direklamasi tersebut merupakan sumber penghidupan masyarakat. Sejak turun temurun masyarakat Pulau Lae-lae yang mayoritasnya adalah nelayan mencari berbagai jenis hasil tangkapan biota laut seperti ikan, cumi-cumi, ambaring (udang kecil), dan kepiting di lokasi rencana reklamasi tersebut. 

Proyek reklamasi ini diprakarsai oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (baca press release Kawal Pesisir: https://lbhmakassar.org/press-release/reklamasi-pulau-lae-lae-mewarisi-derita-cpi/).  Rencananya lahan hasil reklamasi tersebut untuk destinasi wisata bahari yang juga bisa dikelola pihak swasta. Bagi masyarakat Pulau Lae-lae rencana proyek reklamasi ini terkesan dipaksakan karena tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat pada aspek pengelolaan sumber daya alam.

"Kami angkat tema festival "Merdeka dari Reklamasi" karena kami menolak reklamasi. Ketika reklamasi dilakukan maka nelayan-nelayan di pulau ini  akan kehilangan mata pencaharian. Seharusnya pemerintah tidak boleh membuat kebijakan tanpa persetujuan masyarakat. Kami berhak merdeka atas laut yang sudah  memberi kami kehidupan," ucap Om Bob dengan tegas.

Hari pertama Island Fest, pada sore harinya masyarakat bersama dengan teman-teman dari KAWAL Pesisir membentangkan spanduk berukuran besar di ujung Pantai Pasir Putih. Spanduk tersebut berlatar warna putih dengan sebaris kalimat berwarna merah bertuliskan "Tolak Reklamasi Pulau Lae-lae". Inilah  wujud nasionalisme yang diterjemahkan oleh masyarakat Pulau Lae-lae. Memberi pesan kepada elit kekuasaan bahwa nasionalisme Indonesia semestinya menghargai, menghormati, dan melindungi hak asasi warga negaranya terutama dalam konteks pembangunan. Bukan sebaliknya memaksakan ide-ide pembangunan yang  tidak mempertimbangkan persoalan-persoalan nyata di masyarakat.

                                             Pembentangan spanduk penolakan reklamasi: Dok. Kawal Pesisir

Malam terakhir Island Fest menjadi malam yang akan selalu melekat dalam ingatan masyarakat Pulau. Inilah sejatinya pesta rakyat yang terbangun dari solidaritas senasib sepenanggungan. Malam itu adalah ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan sisi emosionalnya dari realitas yang mereka hadapi melalui beragam pertunjukan seni. Rasanya tidak ada yang tidak merasa bahagia malam itu. Anak-anak muda memberikan penampilan terbaiknya melalui tarian, teater, puisi, dan musik. Ibu-ibu pun tidak mau kalah, mereka juga turut berpartisipasi melalui vokal grup mereka. Ekonomi masyarakat juga berputar dengan beragam jenis jajanan makanan dan minuman tersedia di pasar rakyat sebelah panggung kegiatan. 

                                                              Panggung seni Island Fest 2023: Dok. Pribadi

Diantara beragam pertunjukan seni, saya tidak akan melupakan teater boneka yang mengangkat tema jugun ianfu. Pulau Lae-lae adalah saksi sejarah Perang Dunia Kedua dengan bukti keberadaan dua bungker peninggalan Jepang yang berada di sekitar pemukiman masyarakat. Kita merdeka tetapi melupakan kisah kelam jugun ianfu. Kita merdeka tetapi perampasan ruang hidup atas nama pembangunan masih terjadi hingga saat ini. Atau siapa yang sesungguhnya merdeka?


pada masa penjajahan Jepang saat Perang Dunia Kedua.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Jugun Ianfu pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia", https://tirto.id/giAA

pada masa penjajahan Jepang saat Perang Dunia Kedua. Jepang mengumpulkan perempuan-perempuan dari wilayah jajahan untuk memaksa mereka menjadi jugun ianfu.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Jugun Ianfu pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia", https://tirto.id/giAA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wabah Virus dan Protes Rakyat (Sebuah Tinjauan Historis)

 (Ilustrasi dukun di Jawa mengobati pes. Sumber foto: historia.id) Melihat ke belakang, jauh sebelum wabah pandemi virus corona atau Covid-19 menjangkiti Indonesia, rakyat pada zaman kolonialisme Belanda telah lebih dulu merasakan hidup dalam ancaman wabah virus. Dua wabah virus tersebut adalah pes dan influenza. Sejarawan Syefri Luwis dalam sebuah diskusi daring mengungkapkan, bahwa wabah pes pertama kali dilaporkan terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tahun 1905. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda tidak peduli dengan kasus tersebut karena yang terjangkit hanya dua orang. Enam tahun berselang, laporan wabah pes kembali muncul di Hindia Belanda, tepatnya di Malang Jawa Timur. Wabah ini diprediksi mulai menyebar di Malang karena faktor beras dari Myanmar. Lagi-lagi pemerintah kolonial Belanda tidak percaya begitu saja dan membantah karena meyakini tikus Myanmar berbeda dengan tikus lokal. Pada kenyataannya, tikus Myanmar mampu beradaptasi dengan lokal sehingga

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama