Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

“Bukan Dongeng untuk Anakku”: Membaca anak-anak melalui puisi Rusdin Tompo

(Karya terbaru Kak Rusdin Tompo) “Saya memang punya cita-cita untuk menulis kumpulan puisi bertemakan anak-anak”, kata Kak Rusdin dalam sebuah obrolan kecil sebelum acara bedah buku puisi terbarunya dimulai. Pagi itu saya berkesempatan menghadiri bedah buku puisi terbaru Kak Rusdin yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan. Ini kali kedua saya menghadiri bedah buku puisi Kak Rusdin setelah yang pertama bedah buku puisi berjudul “Mantera Cinta” pada tahun 2017. Di tahun 2017 pula saya beruntung diberikan langsung buku puisi Kak Rusdin yang berjudul “Menculik Puisi”. Bedah buku puisi terbaru Kak Rusdin yang berjudul   “Bukan Dongeng untuk Anakku” kali ini terasa istimewa karena bertepatan dengan momentum Hari Guru Nasional   dan sebelumnya beberapa hari yang lalu adalah perayaan Hari Anak Sedunia. Jauh sebelum saya berkenalan dengan Kak Rusdin, saya sudah mengenalnya sebagai aktivis perlindungan anak di Kota Makassar. Pada bebe

Apakah kita adalah “Joker” dari Negara yang abai terhadap krisis lingkungan hidup?

Sumber Foto: thesunflower.com Film Joker menjadi trending topik sejak pemutaran perdananya pada tanggal 2 Oktober di Indonesia. Di media sosial begitu banyak yang mengapresiasi dan menulis review film ini dari beragam sudut pandang. Bahkan film Joker mendapatkan apresiasi yang luar biasa saat pemutaran perdananya pada salah satu ajang perfilman palin prestisius di dunia, Venice Film Festival dengan standing ovation penonton yang dilakukan selama 8 menit ! Beberapa waktu yang lalu saya pun berkesempatan untuk menonton film tersebut dan jika disuruh memilih menjadi Joker atau Batman, saya lebih baik memilih menjadi Joker. Di dunia nyata kita tidak akan pernah menemukan sosok pahlawan seperti Batman tetapi Joker sendiri adalah kenyataan dari individu-individu yang tidak mendapatkan hak untuk menjadi bahagia dari negara dan akhirnya dengan terpaksa memilih menjadi jahat. “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” merupakan salah satu dialog dalam film tersebut. Individu-

Derita Kesunyian Nelayan Tallo dalam Film “Senandung Sunyi Samudra”

Sunyi itu Duka (Amir Hamzah, 1937) Sunyi itu duka Sunyi itu kudus Sunyi itu lupa Sunyi itu lampus (Suasana nonton bersama film dokumenter "Senandung Sunyi Samudra" di Kampung Manggarabombang Tallo) Ada keterasingan dalam kesunyian sang penyair Amir Hamzah. Kesunyian manusia-manusia yang menjadi objek dari pembangunan. Pasrah, marah dan kalah seolah telah menjadi hal yang lumrah karena penguasa punya kuasa untuk mengatur segalanya, termasuk mengatur setiap tetesan keringat masyarakat dalam mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Seperti itulah pesan yang saya tangkap dalam film dokumenter “Senandung Sunyi Samudra” (Silent Blues Of The Ocean) karya Arfan Sabran dan Andi F. Azzahra. Tentang sebuah keluarga nelayan yang beradaptasi untuk bertahan hidup karena proyek reklamasi pantai di Kota Makassar telah menghilangkan rumah dan akses mereka untuk melaut. Tentu sebuah kebanggaan bagi Ruang Abstrak Literasi sebagai komunitas yang diberikan kepercaya

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika

Sampah Pantai Losari dan Reklamasi

Berkunjung ke Pantai Losari kini tidak hanya disuguhkan dengan pemandangan matahari terbenam dan beragam wisata kuliner khas Kota Makassar. Air laut berwarna hitam dan sampah berbagai jenis yang mengeluarkan bau menyengat telah menjadi pemandangan biasa setiap harinya bagi pengunjung Pantai Losari. Penataan Pantai Losari sebagai destinasi wisata pantai nyaman dan bersih tidak akan pernah terwujud jika permasalahan sampah belum mampu ditangani dengan serius oleh Pemerintah Kota Makassar. Tumpukan sampah yang berserakan di bibir Pantai Losari   merupakan persoalan klasik yang telah terjadi sejak lama meskipun berbagai program kebijakan pengelolaan sampah telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar tetapi ternyata belum juga mampu mengatasi persoalan sampah tersebut. Yang menjadi sorotan publik saat ini ketika Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Makassar, M Iqbal S Suhaeb meninjau langsung Pantai Losari dan menyaksikan berbagai jenis sampah berserakan pada Minggu 7 juli 2019. Menurut I

Kenapa akhirnya saya menggunakan hak politik saya pada PEMILU tahun ini

(sumber foto: Facebook WALHI) Pencoblosan telah selesai 17 April yang lalu tetapi ada banyak cerita-cerita yang belum usai. Penting bagi saya untuk menulis ini, setidaknya menjawab beberapa pertanyaan, tuduhan dan cerita miring tentang saya sendiri terkait sikap saya dalam momentum Pemilihan Umum (PEMILU) tahun ini. Setelah ini tidak ada yang berubah selain terus berbenah diri dan belajar tanpa henti. 10 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2009 pertama kali saya menggunakan hak pilih saya sebagai warga negara pada usia 17 tahun. Saya masih ingat betul pasangan calon presiden dan wakil presiden yang saya pilih adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono. Singkat cerita alasan saya memilih SBY-Boediono. Ketika itu bapak saya sepulang dari Jakarta dalam sebuah rangkaian acara membawa banyak buku dan salah satu buku tersebut ada yang mengulas habis tentang sosok SBY. Buku itu berjudul “Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY ” ditulis oleh   Dino Patti Jalal juru bicara Presiden SB