Langsung ke konten utama

Ababil F.C dan mimpi anak-anak Lebba'E


Kemenangan dan kekalahan adalah hal yang pasti dalam setiap kompetisi, tetapi kalah dengan alasan yang sama justru menurut saya adalah suatu kondisi dimana kita tidak belajar dari kekalahan itu untuk menjadi lebih kuat lagi kedepannya. "Seandainya dari dulu ada lapangan bola ta', pasti susah mi na kalahki juga lawan dan bisa ki juara". Kalimat kekecewaan itu keluar dari salah seorang anak muda Lebba'E pada saat perjalanan pulang setelah kekalahan tipis dikompetisi beberapa hari yang lalu. Kalimat itu sudah berulang kali saya dengarkan ketika Ababil F.C. yang merupakan klub kebanggaan kampung kami mengalami kekalahan pada partisipasinya disetiap kompetisi. 

Anak-anak muda Lebbae'E dipersatukan oleh rasa cinta terhadap sepakbola meskipun kenyataannya di kampung kami tidak ada sama sekali lapangan sepakbola. Saya masih ingat sewaktu SD, ada beberapa tempat yang kami sulap menjadi tempat bermain bola. Mulai dari halaman SD 75 Lebbae'E, pabrik pengolahan padi di kampung yang ada jemuran padinya dan lapangan musiman setelah panen padi di sawah-sawah luas milik orang-orang di kampung. Aghu Irsyadulgazalinahdiyyin dan Muhammad Askah juga pasti ingat bagaimana bersemangatnya kami untuk bertanding mewakili SD pada setiap kompetisi perayaan kemerdekaan 17 Agustus, berjalan kaki bersama dengan jarak sekitar 3 kilometer menuju ke lapangan sepakbola yang hanya ada satu-satunya di desa kami. Tidak punya lapangan tetapi kami punya klub Ababil F.C yang telah berdiri pada awal tahun 2000an dan sampai sekarang masih mencoba tetap eksis pada setiap kompetisi atau turnamen yang digelar mulai dari antar desa sampai kabupaten. Sejak saya menjadi pendukung cilik Ababil F.C dan menjadi salah satu pemainnya,  ada kebanggaan tersendiri mewakili kampung, menikmati rasa persaudaraan, suka duka dalam kemenangan dan kekalahan dalam satu tim. 

Sekali lagi, yang saya sangat kecewakan  adalah ketidakpekaan pemerintah desa setempat melihat potensi anak-anak muda Lebba'E pada bidang sepakbola. Apalagi kalau kita melihat bahwa anggaran desa di Indonesia sudah begitu berlimpah untuk pembangunan termasuk alokasi penganggaran peningkatan sarana prasarana olahraga. Wacana atau isu pengadaan lapangan sepakbola di dusun kami Lebba'E sebenarnya sudah lama saya dengar sejak kecil, ketika masih menjadi pendukung Ababil F.C dan sampai sekarang belum ada inisiatif serius dari pemerintah desa.

Kita tentunya tidak ingin melihat anak-anak kecil yang sejak SD punya mimpi menjadi pemain sepakbola profesional hanya menjadi sekedar mimpi karena tidak adanya lapangan sepakbola sebagai penunjang utama dalam peningkatan potensi bakat bermain bola. Cukuplah generasi kami yang terakhir kalinya merasakan keterbatasaan itu. Semoga saja pemerintah desa juga melihat keterbatasan itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama...