Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2019

“Bukan Dongeng untuk Anakku”: Membaca anak-anak melalui puisi Rusdin Tompo

(Karya terbaru Kak Rusdin Tompo) “Saya memang punya cita-cita untuk menulis kumpulan puisi bertemakan anak-anak”, kata Kak Rusdin dalam sebuah obrolan kecil sebelum acara bedah buku puisi terbarunya dimulai. Pagi itu saya berkesempatan menghadiri bedah buku puisi terbaru Kak Rusdin yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan. Ini kali kedua saya menghadiri bedah buku puisi Kak Rusdin setelah yang pertama bedah buku puisi berjudul “Mantera Cinta” pada tahun 2017. Di tahun 2017 pula saya beruntung diberikan langsung buku puisi Kak Rusdin yang berjudul “Menculik Puisi”. Bedah buku puisi terbaru Kak Rusdin yang berjudul   “Bukan Dongeng untuk Anakku” kali ini terasa istimewa karena bertepatan dengan momentum Hari Guru Nasional   dan sebelumnya beberapa hari yang lalu adalah perayaan Hari Anak Sedunia. Jauh sebelum saya berkenalan dengan Kak Rusdin, saya sudah mengenalnya sebagai aktivis perlindungan anak di Kota Makassar. Pada bebe

Apakah kita adalah “Joker” dari Negara yang abai terhadap krisis lingkungan hidup?

Sumber Foto: thesunflower.com Film Joker menjadi trending topik sejak pemutaran perdananya pada tanggal 2 Oktober di Indonesia. Di media sosial begitu banyak yang mengapresiasi dan menulis review film ini dari beragam sudut pandang. Bahkan film Joker mendapatkan apresiasi yang luar biasa saat pemutaran perdananya pada salah satu ajang perfilman palin prestisius di dunia, Venice Film Festival dengan standing ovation penonton yang dilakukan selama 8 menit ! Beberapa waktu yang lalu saya pun berkesempatan untuk menonton film tersebut dan jika disuruh memilih menjadi Joker atau Batman, saya lebih baik memilih menjadi Joker. Di dunia nyata kita tidak akan pernah menemukan sosok pahlawan seperti Batman tetapi Joker sendiri adalah kenyataan dari individu-individu yang tidak mendapatkan hak untuk menjadi bahagia dari negara dan akhirnya dengan terpaksa memilih menjadi jahat. “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” merupakan salah satu dialog dalam film tersebut. Individu-

Derita Kesunyian Nelayan Tallo dalam Film “Senandung Sunyi Samudra”

Sunyi itu Duka (Amir Hamzah, 1937) Sunyi itu duka Sunyi itu kudus Sunyi itu lupa Sunyi itu lampus (Suasana nonton bersama film dokumenter "Senandung Sunyi Samudra" di Kampung Manggarabombang Tallo) Ada keterasingan dalam kesunyian sang penyair Amir Hamzah. Kesunyian manusia-manusia yang menjadi objek dari pembangunan. Pasrah, marah dan kalah seolah telah menjadi hal yang lumrah karena penguasa punya kuasa untuk mengatur segalanya, termasuk mengatur setiap tetesan keringat masyarakat dalam mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Seperti itulah pesan yang saya tangkap dalam film dokumenter “Senandung Sunyi Samudra” (Silent Blues Of The Ocean) karya Arfan Sabran dan Andi F. Azzahra. Tentang sebuah keluarga nelayan yang beradaptasi untuk bertahan hidup karena proyek reklamasi pantai di Kota Makassar telah menghilangkan rumah dan akses mereka untuk melaut. Tentu sebuah kebanggaan bagi Ruang Abstrak Literasi sebagai komunitas yang diberikan kepercaya