Langsung ke konten utama

Derita Kesunyian Nelayan Tallo dalam Film “Senandung Sunyi Samudra”



Sunyi itu Duka
(Amir Hamzah, 1937)

Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

(Suasana nonton bersama film dokumenter "Senandung Sunyi Samudra" di Kampung Manggarabombang Tallo)

Ada keterasingan dalam kesunyian sang penyair Amir Hamzah. Kesunyian manusia-manusia yang menjadi objek dari pembangunan. Pasrah, marah dan kalah seolah telah menjadi hal yang lumrah karena penguasa punya kuasa untuk mengatur segalanya, termasuk mengatur setiap tetesan keringat masyarakat dalam mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Seperti itulah pesan yang saya tangkap dalam film dokumenter “Senandung Sunyi Samudra” (Silent Blues Of The Ocean) karya Arfan Sabran dan Andi F. Azzahra. Tentang sebuah keluarga nelayan yang beradaptasi untuk bertahan hidup karena proyek reklamasi pantai di Kota Makassar telah menghilangkan rumah dan akses mereka untuk melaut.

Tentu sebuah kebanggaan bagi Ruang Abstrak Literasi sebagai komunitas yang diberikan kepercayaan dari sutradaranya langsung Arfan Sabran, untuk menyelenggarakan nonton bareng dan diskusi film “Senandung Sunyi Samudra”. Kampung Nelayan Manggarabombang di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar adalah tempat yang disepakati bersama oleh komunitas kami untuk menyelenggarakan nonton bareng dan diskusi yang jatuh pada hari Sabtu, 26 Oktober, 2019. Tepatnya di Pantai Marbo, dulunya merupakan tempat pembuangan sampah masyarakat dan kini telah menjadi ruang publik yang  diresmikan pada tahun 2016 oleh Walikota Makassar waktu itu. Pantai Marbo  telah menjadi tempat favorit  bagi masyarakat di Kampung Manggarabombang untuk bersantai, berkumpul dan bercerita lepas. Pada sore hari terlihat perahu-perahu nelayan bersandar, pedagang-pedagang kecil menjajakan jualannya dan anak-anak kecil yang bermain. Sejak dua tahun terakhir, Pantai Marbo menjadi tempat yang strategis bagi komunitas kami untuk menyelenggarakan berbagai program kegiatan literasi sepeti Kelas Anak Pesisir, Lapak Baca Pesisir, perlombaan menulis, baca puisi dan nonton film.

Dua hari sebelumnya kami telah menyampaikan kepada beberapa tokoh masyarakat setempat terkait rencana nonton bareng dan diskusi film. Bahkan diantara mereka ada yang meminjamkan tikar, sound system dan microphone untuk kebutuhan perlengkapan yang digunakan pada saat pemutaran film dan diskusi. Kami juga bertemu langsung dengan Ibu Saenab salah seorang perempuan nelayan di Kampung Manggarabombang dan Bapak Amir salah seorang ketua kelompok nelayan tradisional di Kelurahan Kalukuboda, Kecamatan Tallo untuk meminta kesediaan mereka berdua menjadi pembicara dalam diskusi setelah pemutaran film. Alasan kami memilih mereka menjadi pembicara karena yang kami tahu dua orang ini merupakan nelayan yang terkena dampak langsung proyek reklamasi dan menjadi aktor penggerak utama dalam mengajak masyarakat pesisir terutama komunitas nelayan untuk terus memperjuangkan hak-hak hidup mereka yang terabaikan karena proyek reklamasi. Tentu menarik jika nelayan yang menjadi pembicara dalam diskusi film yang berkisah tentang kehidupan nelayan. Untuk memberikan pandangan yang akademis dalam mendiskusikan film tersebut, kami memilih Rifal Najering salah satu sejarawan ekonomi maritim yang juga merupakan anggota dari komunitas kami.

Sekitar pukul 19.30 WITA, masyarakat pun mulai ramai berdatangan. Mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Yang banyak hadir adalah mereka yang bekerja sebagai nelayan sehari-harinya. Mungkin saja karena film ini tentang keluarga nelayan dan mereka penasaran seperti apa kisahnya dalam film tersebut. Di bagian paling depan layar anak-anak duduk berjejer dengan rapi, telah bersiap untuk menonton. Sebelum film diputar, Yasid salah seorang anak nelayan membacakan puisi berjudul Sajak Anak Nelayan dengan penuh penghayatan. Film yang berdurasi sekitar 28 menit ini pun diputar.

Kekhawatiran kami saat film berlangsung adalah suara sound system yang tidak jelas kedengaran karena di berada ruang terbuka dan anak-anak yang ribut karena bermain tetapi ternyata semua penonton yang hadir terlihat begitu fokus menikmati film tersebut. Pesan film ini begitu cepat ditangkap oleh penonton karena keselurahan dialog dalam film yang menggunakan bahasa Makassar dan bahasa Indonesia dengan logat khas  Makassar. Beberapa dari mereka bahkan ada yang mengenal aktor-aktor dari film tersebut.

Terlihat raut wajah ekspresi kesedihan penonton terutama mereka yang bekerja sebagai nelayan karena merasakan situasi yang hampir sama dari kisah film ini. Keluarga nelayan dengan keadaan terpaksa bekerja sebagai pemulung karena imbas dari proyek reklamasi di Kota Makassar. Di pesisir Tallo, kita pun bisa menemukan mereka yang dulunya bekerja sebagai nelayan tetapi karena reklamasi pendapatan hasil melaut semakin berkurang dan akhirnya beralih pekerjaan seperti menjadi buruh bangunan, pedagangan asongan, dan kuli angkut barang.

***
(Nelayan menonton filmnya sendiri dan mendiskusikannya)

Setelah film selesai, diskusi film pun dimulai dalam suasana yang santai. Ibu Saenab salah seorang perempuan nelayan menuturkan, reklamasi juga terjadi di Tallo seperti pembangunan tanggul pada tahun 2013 dan pembangunan pelabuhan baru atau yang dikenal dengan Makassar New Port (MNP). “Kehidupan kami sebagai keluarga nelayan semakin susah, dulu kami perempuan sering mencari tude dan kanjappang ketika air laut surut tetapi karena reklamasi laut menjadi rusak dan sekarang sudah tidak adalagi perempuan yang pergi melaut termasuk saya sendiri yang terpaksa harus mencari pekerjaan lain. Kami tentu berharap pemerintah bisa memberikan solusi terbaik bagi kami,” tutur Ibu Saenab.

Sementara Pak Amir menjelaskan, di Kelurahan Kalukubodoa Tallo terdapat sekitar 80 nelayan tradisional dari 3 kelompok nelayan tetapi sejak proyek reklamasi pelabuhan MNP yang dimulai tahun 2015, hingga saat ini ada sekitar 30 nelayan beralih pekerjaan dan kebanyakan menjadi kuli angkut barang. “Dulu sebelum ada proyek reklamasi pendapatan nelayan sangat bagus karena bisa dapat hingga 500 ribu setiap harinya tetapi sekarang syukur kalau dapat sampai 100 ribu setiap hari karena terumbu karang tempat habitatnya ikan rusak karena reklamasi. Kami nelayan tidak menolak pembangunan pelabuhan tetapi perhatikan juga hak-hak kami sebagai nelayan yang sudah sejak turun temurun hidup bergantung dari hasil melaut,” ungkap Pak Amir.

Rifal Najering mencoba melihat film ini dalam konteks kesejarahan bahwa gerak sejarah pesisir dan laut di Makassar ada pada komunitas nelayan. Mereka adalah agensi yang bisa beradaptasi dan berkembangan di tengah gejolak politik dan ekonomi pada masa tertentu. “Nelayan seharusnya bukan hanya menjadi penonton dalam pembangunan di kawasan pesisir dan laut. Kita harus kembali menerjemahkan ulang makna pembangunan yang hanya identik dengan pembangunan infrastruktur tetapi justru kualitas hidup nelayan semakin merosot. Yang dibutuhkan saat ini adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia bagi nelayan bukan reklamasi,” tegas Rifal.

Dari film dokumenter “Senandung Sunyi Samudra” kita tidak akan menemukan informasi tentang  siapa yang melakukan reklamasi, untuk apa reklamasi itu dan dampak reklamasi seperti apa.  Film ini memang bukanlah film yang dibuat sebagai sumber informasi tetapi film ini adalah refleksi kehidupan yang menggugah sebuah kesadaran kita atas sebuah realitas. Tentang sebuah kota demi mengejar predikat kota dunia tetapi pelan tapi pasti secara terencana sejak tahun tahun 2000 telah  menggusur sekitar 5.000 nelayan dari ruang hidupnya yaitu pesisir dan laut. Kota ini membunuh nelayannya sendiri.

Tulisan ini telah dipublikasikan oleh: https://bumipanritakitta.com/derita-kesunyian-nelayan-tallo-dalam-film-senandung-sunyi-samudra/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teripang, Tarekat, dan Tionghoa (Sebuah Catatan Perjalanan Riset di Pulau Barrang Lompo)

Bulan ini cukup padat, beberapa deadline pekerjaan harus segera diselesaikan. Rencananya agenda ke Pulau Barrang Lompo pada akhir bulan April tetapi tertunda. Akhirnya baru bisa berangkat pada Selasa, 07 Mei 2024 setelah mengutak-atik ulang agenda kerja dan bernegosiasi ulang dengan beberapa "juragan". Sejarah umat manusia tidak bisa lepas dari aktivitas negosiasi termasuk segala keputusan politik yang memulai perang dan mengakhiri perang. Sepertinya ini sudah mulai agak melebar pembahasannya. Okelah , saya memulai bernegosiasi dengan beberapa teman untuk mengajaknya ke Pulau Barrang Lompo. Semua teman yang saya ajak ternyata tidak bisa ikut dengan berbagai alasan. Mungkin tawaran saya dalam bernegosiasi kurang menarik bagi mereka. Seharusnya saya menawari mereka bagaimana lezatnya mencicipi Sup Teripang di Pulau Barrang Lompo. Sup teripang itu memang ada di Pulau Barrang Lompo, bukan hanya makanan khas dari negeri Tiongkok. Menurut Uci (26), untuk teripang yang suda

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama