Langsung ke konten utama

“Bukan Dongeng untuk Anakku”: Membaca anak-anak melalui puisi Rusdin Tompo



(Karya terbaru Kak Rusdin Tompo)

“Saya memang punya cita-cita untuk menulis kumpulan puisi bertemakan anak-anak”, kata Kak Rusdin dalam sebuah obrolan kecil sebelum acara bedah buku puisi terbarunya dimulai. Pagi itu saya berkesempatan menghadiri bedah buku puisi terbaru Kak Rusdin yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan. Ini kali kedua saya menghadiri bedah buku puisi Kak Rusdin setelah yang pertama bedah buku puisi berjudul “Mantera Cinta” pada tahun 2017. Di tahun 2017 pula saya beruntung diberikan langsung buku puisi Kak Rusdin yang berjudul “Menculik Puisi”. Bedah buku puisi terbaru Kak Rusdin yang berjudul  “Bukan Dongeng untuk Anakku” kali ini terasa istimewa karena bertepatan dengan momentum Hari Guru Nasional  dan sebelumnya beberapa hari yang lalu adalah perayaan Hari Anak Sedunia.

Jauh sebelum saya berkenalan dengan Kak Rusdin, saya sudah mengenalnya sebagai aktivis perlindungan anak di Kota Makassar. Pada beberapa momen kegiatan, seperti bedah buku dan seminar bertemakan literasi saya pun mulai berkenalan dengan Kak Rusdin. Ketika itu saya sempat agak merasa canggung karena bertemu dengan sosok yang bisa dikatakan merupakan salah satu pegiat literasi dan aktivis yang telah dikenal luas oleh banyak orang. Tetapi setelah bertemu dan berdiskusi langsung suasananya begitu cair karena Kak Rusdin menurut saya tipe orang yang santai dan tidak memandang latar belakang orang yang dia temani diskusi. Saya semakin respek dengan Kak Rusdin ketika komunitas kami menggelar pembukaan Kelas Anak Pesisir di Pantai Manggarabombang Tallo dan menyempatkan hadir kemudian menyumbangkan beberapa buku bacaan untuk komunitas kami. Semenjak itu komunitas kami pun beberapa kali berkolaborasi dengan Kak Rusdin dalam kegiatan-kegiatan literasi.

Kegiatan bedah buku ini tidak hanya fokus membahas proses lahirnya karya puisi terbaru Kak Rusdin  tetapi beberapa diantara peserta juga membacakan buku puisi tersebut. Bahagia rasanya ketika melihat seorang guru dan dua anak perempuan sekolah dasar dengan penuh penghayatan membacakan puisi bertemakan anak-anak tepat pada momen perayaan Hari Guru Nasional itu juga. Salah seorang peserta menanggapi karya buku puisi terbaru Kak Rusdin, menurut pendapatnya kurang memiliki nilai estetika dibandingkan buku-buku puisi Kak Rusdin sebelumnya. Saat mendengarkan pendapat tersebut saya bingung, apakah nilai estetika sebuah puisi hanya dilihat dari diksi yang digunakan untuk menulis puisi tersebut? Kadang malah saya gagal memaknai puisi-puisi dengan diksi yang begitu melangit. Puisi terbaik menurut saya adalah puisi yang mampu membuat pembacanya merasakan suasana hati dan pikiran penulisnya.

“Bukan Dongeng untuk Anakku” adalah sehimpun buku puisi bertemakan anak-anak yang terdiri dari sekitar 90 puisi dengan jumlah 138 halaman. Dalam buku puisi ini, terdiri dari 5 sub-tema yaitu; Anakku Puisiku, Membaca Ceritamu Nak, Apa Kabar Sekolahku, Anak-Anak Dalam Berita, dan Merayakan Puisi Bersama Anak-Anak. Sub-tema dalam buku puisi ini sepertinya memang dikonsep agar pembaca bisa membedakan sosok Kak Rusdin pada posisinya sebagai orang tua dari ketiga anak-anaknya, pemikiran kritisnya sebagai aktivis perlindungan anak, pengalaman aktivitasnya dalam mendorong hak atas pendidikan terhadap anak dan inspirasi-inspirasi yang diambil dari teman-teman jaringan Kak Rusdin sendiri. Saya ikut terharu menyaksikan tangis Kak Rusdin pecah ketika menjelaskan kepada peserta inspirasi ide yang lahir dari proses penulisan buku puisinya. Komitmen dan kecintaan Kak Rusdin terhadap dunia anak-anak dan segala ragam persoalannya terjawab dalam buku puisi ini.

Menurut Kak Rusdin, sehimpun puisi bertemakan anak-anak yang ditulisnya merupakan media pendekatan dan bentuk ekspresi untuk menggugah orang-orang agar peduli terhadap persoalan anak-anak 
menggerakkan literasi dikalangan anak-anak. Kak Rusdin sedang terus mengupayakan untuk membumikan puisi kepada anak-anak dan menggunakan puisi sebagai model pembelajaran agar anak-anak bisa menuangkan gagasannya melalui puisi dari apa yang mereka lihat dan rasakan di sekitarnya.  Dan hal itu terbukti, ketika Kak Rusdin  menjadi teman belajar bagi anak-anak SDN Borong Makassar dengan lahirnya karya kumpulan puisi “Pelangi dalam Kelas” karya siswi Riska Aulia dan Antologi Puisi “Perpustakaan Baru” karya 40 siswa dan siswi SDN Borong yang dilaunching pada bulan Juli tahun 2019 yang lalu.

Membaca sehimpun puisi anak “Bukan Dongeng untuk Anakku” membuat saya semakin yakin bahwa menulis puisi tidak mesti terjebak dalam kacamata estetika tetapi bagaimana puisi tersebut menjadi jembatan dalam menyampaikan rasa peduli terhadap persoalan  manusia-manusia di sekitar kita. Selain itu kita bisa mendapatkan inspirasi ide menulis puisi yang tidak jauh-jauh dari aktivitas kehidupan sehari-hari. Puisi adalah suara hati dari segala isi kehidupan. Bagi saya nilai estetika puisi Kak Rusdin adalah kemerdekaan ide dari pengalaman hidupnya menjadi bagian dari dunia anak-anak itu sendiri dan kita merasakan apa yang dirasakan oleh Kak Rusdin melalui puisinya.

Menutup tulisan ini, saya mengutip salah satu bait puisi favorit saya dalam sehimpun puisi anak “Bukan Dongeng untuk Anakku”  berjudul Belajar Memberi:

Nak, Mana tangan mungilmu
Julur lenturkan ke muka
Pada sesiapa yang papa
Ringankan ‘tuk memberi
Sebab rezeki bukan milik sendiri

Komentar

  1. Tabik daeng Rusdin.Bisa terus berkarya dan istiqamah

    BalasHapus
  2. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.cc

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama...