Langsung ke konten utama

Apakah kita adalah “Joker” dari Negara yang abai terhadap krisis lingkungan hidup?


Sumber Foto: thesunflower.com

Film Joker menjadi trending topik sejak pemutaran perdananya pada tanggal 2 Oktober di Indonesia. Di media sosial begitu banyak yang mengapresiasi dan menulis review film ini dari beragam sudut pandang. Bahkan film Joker mendapatkan apresiasi yang luar biasa saat pemutaran perdananya pada salah satu ajang perfilman palin prestisius di dunia, Venice Film Festival dengan standing ovation penonton yang dilakukan selama 8 menit! Beberapa waktu yang lalu saya pun berkesempatan untuk menonton film tersebut dan jika disuruh memilih menjadi Joker atau Batman, saya lebih baik memilih menjadi Joker. Di dunia nyata kita tidak akan pernah menemukan sosok pahlawan seperti Batman tetapi Joker sendiri adalah kenyataan dari individu-individu yang tidak mendapatkan hak untuk menjadi bahagia dari negara dan akhirnya dengan terpaksa memilih menjadi jahat.

“Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” merupakan salah satu dialog dalam film tersebut. Individu-individu kelas menengah ke bawah yang jahat dengan melakukan tindakan kekerasan yang berujung kriminal  merupakan kegagalan negara dalam memenuhi hak-hak dasar warga negaranya. Joker adalah representasi individu kelas  sosial masyarakat bawah atau miskin yang tidak mendapatkan hak-hak pelayanan sosial dari sebuah kota metropolitan bernama Gotham. Tindakan kekerasan yang dilakukan Joker merupakan reaksi normal dari situasi yang tidak normal. Menurut Mufti Makarim (2014) dalam papernya berjudul “Memaknai Kekerasan”, dalam konteks situasi yang tidak normal yang dimaksud adalah situasi-situasi yang dianggap “bukan seharusnya” seperti konflik, kemiskinan, dan ketertindasan yang lahir dari kekerasan struktural dengan aktor-aktor besarnya seperti negara, militer atau aparat keamanan dan aktor non-negara seperti peruhasaan transnasional.

Batman hanyalah fiksi sementara Joker adalah realitas dan Kota Gotham sendiri tidak jauh berbeda dari kota yang kita tempati bermukim saat ini. Ada kemiskinan, penggusuran, kerusakan lingkungan, pemerintahan yang korup, dan kelompok-kelompok elit politik yang hidup berfoya-foya. Mari kita lihat dalam konteks Indonesia terkait konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berujung pada jatuhnya korban jiwa setiap tahunnya terjadi karena paradigma negara dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam  hanya dilihat sebagai komoditi, objek eksploitasi dan investasi demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Negara melalui legitimasi kebijakannya memberikan ruang yang begitu leluasa kepada korporasi untuk mengkapling setiap jengkal petak tanah-tanah subur bumi pertiwi.

Dalam satu wilayah, jika terjadi konflik sumber daya alam dan kerusakan lingkungan maka sudah bisa dipastikan terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap rakyat, diantaranya hak atas lingkungan hidup, hak atas tempat tinggal yang layak, hak atas pekerjaan dan hak atas partisipasi dalam pembangunan. Sepanjang tahun 2018, letupan-letupan perlawanan rakyat dalam memperjuangkan hak atas lingkungan dan kedaulatan atas sumber daya alam terhadap praktik buruk investasi hampir terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Negara yang seharusnya menjadi benteng hak asasi manusia sebagaimana amanah dari konstitusi justru sebaliknya tak bisa berkutik banyak terhadap korporasi-korporasi yang melakukan praktik kejahatan atas lingkungan hidup.

Menurut catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sepanjang tahun 2018 tercatat sekitar 555 konflik sumber daya alam yang dilaporkan kepada Kantor Staf Presiden (KSP). Sektor perkebunan dan kehutanan merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga mencatat, sepanjang tahun 2018 sedikitnya telah terjadi 410 konflik agraria  dengan luas wilayah konflik mencapai 807.177, 613 hektar yang melibatkan 87.568 Kepala Keluarga (KK). 592 aktivis HAM, pejuang lingkungan dan agraria menjadi korban kekerasan dan tindakan kriminalisasi yang bahkan berujung pada kematian oleh korporasi dengan menggunakan instrument hukum yang sering melibatkan aparat keamanan negara. Jumlah angka-angka kekerasan, kriminalisasi dan kematian diprediksi akan meningkat di tahun 2019 terutama jika kita lihat pada bulan September yang lalu begitu besarnya gelombang gerakan perlawanan rakyat terhadap pemerintah untuk menuntut penghapusan berbagai undang-undang yang dianggap tidak pro terhadap rakyat.

Joker adalah kita?

Tidak semua orang yang merasakan situasi tertindas, diskriminatif dan ketidakadilan dari sebuah sistem pemerintahan akan menggunakan cara-cara yang sama dalam melakukan protes. Begitu pun dengan Joker, melakukan protes dengan caranya sendiri tanpa memiliki motif politik tertentu. Joker bukanlah ikon atau aktor utama dalam perlawanan warga terhadap pemerintah Gotham saat itu.  Tetapi kita tidak sedang memperdebatkan tentang ideologi dan strategi perlawanan apa yang tepat dalam menghadapi kekuasaan. Rakyat yang marah dan kecewa atas krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia juga punya caranya masing-masing dalam mengekspresikan perlawanannya. Tidak semua dari mereka juga mengambil peran dengan mengorganisasikan diri dalam gerakan sosial. Pilihan paling aman terkadang harus pasrah dan berkompromi dengan penguasa seperti menerima ganti rugi yang tentunya jauh dari kata layak.

Mencoba menarik ke belakang, di Sulawesi Selatan misalnya dalam sejarah perlawanan terhadap penguasa dari zaman Kolonialisme hingga Pemerintahan Soekarno. Menurut Taufik, dikutip dari historia.id bahwa di wilayah Polongbangkeng Takalar salah satu tokoh lokal bernama I Tolok Daeng Magassing melakukan aksi perampokan secara berkala dengan menggunakan senjata tajam sebagai bentuk pembangkangan terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1960 juga tercatat maraknya perampokan yang dilakukan oleh bandit-bandit di wilayah Gowa, Takalar hingga Jeneponto yang merupakan reaksi protes kekecewaan terhadap negara karena ketidakstabilan kondisi ekonomi dan politik.

Hal yang hampir sama juga terjadi terhadap komunitas nelayan tradisional yang terkena imbas proyek reklamasi di Kota Makassar. Beberapa diantara mereka menceritakan kepada saya bagaimana proyek reklamasi telah merusak ekosistem laut dan membuat nelayan kehilangan mata pencaharian. Mereka pun pernah melakukan bentuk-bentuk protes dalam menolak proyek reklamasi dengan cara-cara kriminal yang dianggap oleh negara, seperti memukul pekerja proyek sampai membawa senjata tajam untuk mengancam pihak perusahaan. Bahkan beberapa diantara mereka dengan keadaan terpaksa terlibat dalam aksi-aksi pencurian sesama kelas menengah ke bawah. Rasanya tidak adil jika kita menghakimi tindakan kriminal yang telah dilakukan tanpa melihat secara utuh bahwa akar konflik masalahnya adalah negara abai terhadap hak-hak dasar warga negaranya, persis sama dengan yang dialami oleh Joker dari tingginya kesenjangan sosial dan kriminalitas di Kota Gotham.

Joker dianggap sebagai orang jahat yang memiliki gangguan mental. Dalam penelitian psikologi mengenai Distrek Psikologik dan Disfungsi Sosial menurut Lund (dalam Liputo, 2014) bahwa jika seseorang berada dalam kondisi kemiskinan memiliki kecenderungan lebih besar mengalami gangguan terhadap kesehatan mental seperti stress tinggi, trauma dan kekerasan. Lingkaran tersebut menunjukkan adanya kondisi terampas (deprivation) dan merasa tidak berdaya (helpless) terhadap kemiskinan yang dialami. Krisis lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam akan menjadi salah faktor pemicu terjadinya kemiskinan di negeri ini. Sepertinya tidak sulit dalam keseharian kita menemukan rakyat yang menjadi Joker karena belenggu kemiskinan. Atau bisa jadi kita adalah Joker itu sendiri yang pura-pura bahagia, marah terhadap negara dan bingung mau berbuat apa?


Sumber Bacaan:

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2018,
akses: https://walhi.or.id/tinjauan-lingkungan-hidup-2019,

Catatan Akhir Tahun 2018 KPA, akses:

Mufti Makarim. 2014. Memaknai Kekerasan. Jakarta: Koleksi Pusat Dokumentasi ELSAM.

Salahuddin Liputo. 2014. Distres Psikologik dan Disfungsi Sosial di Kalangan Masyarakat
Miskin Kota Malang. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 2 (3), 286-295, dalam http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jspp/article/view/2892/3546, diakses pada 9 November 2019.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama...