Langsung ke konten utama

Rumah dan Musyawarah


 (Dokumentasi foto: kompasiana.com)

Rumah itu akan kembali bermusyawarah. Ruang berdemokrasi untuk mencapai tujuan mulia dari rumah itu sendiri. Bermusyawarah bukan hanya tentang memilih kelak siapa bertanggungjawab sebagai pemimpin yang akan menjadi penghuni tetap rumah selama setahun lamanya. Musyawarah di dalam rumah setahu saya tidak gila akan politik busuk kekuasaan dan itu telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Lalu muncul pertanyaan, apakah musyawarah rumah kali ini akan menjadi momentum untuk membersihkan segala isi rumah yang dianggap membatasi kemajuan ruang berpikir dan berkarya? Pertanyaan tersebut lebih kepada arah refleksi dan evaluasi, karena begitulah sesungguhnya subtansi dari bermusyawarah. Kita bermusyawarah untuk mencari akar masalah dan mencari jalan keluarnya secara bersama-sama. Pertanyaan selanjutnya adalah, beranikah kita untuk mengakui jika memang rumah tempat kita belajar segala hal juga memiliki kekurangan? Atau sebaliknya kita tidak berani satu sama lain untuk bersikap dengan sadar menerima kritikan demi sebuah kebaikan. Oleh sebab itu, sebelum memulai musyawarah buanglah jauh-jauh ego pribadi karena bisa jadi kita termasuk saya sendiri adalah bagian kotor dari rumah itu sendiri.

Sama seperti tahun kemarin, tahun ini pun saya tidak bisa berpartisipasi dalam musyawarah rumah sendiri. Tentu pasti akan ada suara-suara sinis dari para penghuni rumah karena ketidakhadiran saya dan membaca tulisan ini. Misalkan, “Itu Ferdhy ceritanya ji banyak, sekalinya musyawarah tidak hadir”. Suara-suara sinis seperti itu sudah sangat biasa saya dengarkan bahkan masih saja ada dalam setahun terakhir ini. Ketika saya misalkan jarang ke kampus bertemu dengan penghuni rumah, kadang dianggap sudah tidak memiliki kepedulian lagi. Entah siapa yang menentukan standar tersebut bahwa semakin sering ke kampus maka kita masih memiliki kepedulian terhadap rumah. Saya sendiri sudah meninggalkan dunia akademik kampus sejak tahun 2015. Coba bayangkan. Anehkan? Hehehe. Jika saya punya waktu ke kampus dan berkumpul bersama para penghuni rumah, tujuan saya yang utama adalah datang untuk minum kopi dan menghibur diri dengan tertawa lepas mendengarkan guyonan lucu “maccalla” beberapa alumni penghuni rumah yang juga kebetulan ada waktu itu. Memang tertawa itu adalah kebutuhan manusia, apalagi saat-saat ini memang kebijakan negara kita membuat hidup warga negaranya semakin tertekan. Hehehe.

Bagaimana dengan penghuni tetap rumah? Saya punya cerita tersendiri terkait mereka. Suatu ketika  saya menyempatkan diri singgah di kampus sekitar jam 1 siang, kebetulan hari itu adalah hari minggu. Saat itu tempat kumpul penghuni rumah atau yang disebut bale-bale, suasananya sangat sepi. Hanya ada satu orang yang saya kenal sebagai penghuni tetap rumah yang malam itu menginap di sekretariat. Singkat cerita tidak ada percakapan selayaknya sesama penghuni rumah. Beberapa pertanyaan saya lontarkan untuk memulai percakapan tetapi si penghuni rumah ini hanya menjawab singkat dan sibuk dengan gadgetnya sendiri. Akhirnya sekitar sejam lamanya, saya menghubungi beberapa alumni penghuni rumah datang  ke kampus untuk menemani dan mengisi kekakuan saya bersama dengan si penghuni tetap rumah ini. Kondisi kekakuan yang saya rasakan itu bahkan tidak terjadi sekali tetapi lebih dari itu. Lebih anehnya lagi, para penghuni tetap rumah itu masih saja mengundang saya secara formal untuk membawakan materi dalam sebuah diskusi. Dari kondisi tersebut, saya malah berpikir kenapa penghuni tetap rumah tidak mau berdiskusi dalam suasana yang tidak formal di bale-bale saja? Suasananya malah jauh lebih cair, santai dan jauh dari model ruang kelas perkuliahan. Apakah segala pencapaian itu harus dilihat dari proses yang formal? Entahlah, saya juga bingung.

Berbenah?

Beberapa tahun terakhir ini memang saya berusaha membatasi diri untuk tidak mencampuri segala urusan rumah tangga penghuni rumah. Pertama, karena saya bukan sosok yang bisa dijadikan cermin panutan dalam berpikir maupun bertindak. Kedua, saya memiliki tanggung jawab keluarga dan akademik yang tidak kalah pentingnya. Namun, saya juga meyakini jika generasi saat ini memiliki tantangannya sendiri dengan cara penyelesaian yang berbeda-beda. Hanya saja memang yang masih kabur menurut saya adalah pembagian peran masing-masing di dalam rumah. Penghuni tetap rumah jelas memiliki tugas dan tanggung jawab penuh, tetapi yang saya lihat sebaliknya. Alumni-alumni penghuni  rumah terkadang melewati batas-batas yang sebenarnya sudah ada dalam aturan main penghuni tetap rumah itu sendiri. Bisa jadi karena rasa cintanya terhadap rumah sehingga hal tersebut terjadi. Sadar atau tidak sadar karena alasan cinta kita bisa melakukan apa saja. Di sisi lain, penghuni tetap rumah dianggap belum mampu menjaga rumah dengan baik. Jika dilihat, masalahnya ada pada masing-masing penghuni tetap rumah dan alumni penghuni rumah itu sendiri. Satu keterikatan yang tidak bisa terpisahkan. Sekali lagi beranikah kita berbenah dengan mengakui masalah itu dan memperbaikinya bersama?

Melalui momentum musyawarah kali ini, menurut saya hal paling mendesak yang mesti dilakukan oleh calon penghuni tetap rumah adalah terus menumbuhkan gairah belajarnya dan memaknai kembali arti dari rumah itu sendiri. Tentu kita tidak menginginkan masalah yang sama terus berulang-ulang terjadi karena kita adalah “sejarah” maka sudah sepatutnya kita berpikir kritis terhadap peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Bagi alumni penghuni rumah termasuk saya tentunya, wacana membentuk forum alumni bisa dihidupkan kembali dalam ruang-ruang yang lebih besar. Ada begitu banyak alumni penghuni rumah tersebar di kota maupun di desa yang masih memiliki keinginan untuk membagi perannya dalam menjaga dan merawat rumah yang kita cintai bersama. Potensi kekuatan inilah yang seharusnya kita identifikasi dan mengikatnya dalam satu wadah forum alumni. Dalam satu pekarangan terdapat dua rumah yang saling berdampingan, yaitu rumah penghuni tetap  HIMA Pendidikan Sejarah UNM dan rumah forum alumni HIMA Pendidikan Sejarah UNM. Dua rumah dalam satu pekarangan ini adalah Keluarga Besar HIMA Pendidikan Sejarah UNM.

Terakhir, saya tertarik dengan tema musyawarah kali ini, yaitu “Revolusi Kinerja” Menciptakan Karakter Ideal Organisasi”. Ada kata “revolusinya”, berarti memang kondisi rumah memang sedemikian parah sehingga memang perlu ada gerakan revolusi. Hehehe. Ingat, revolusi itu melahirkan perubahan tetapi pasti akan ada korban. Berani dulu baru bicara revolusi. Mungkin lebih cocok menggunakan kata “Berbenah”. Kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata berbenah itu adalah berkemas-kemas, memberes-bereskan dan merapikan. Membenahi rumah kita seperti penggalan lirik lagu God Bless, lebih baik di sini, rumah kita sendiri…... Selamat bermusyawarah rumah!

 

Komentar

  1. Mauka komen tapi nanti dianggap terlalu formal dan frontal hahahha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu

Wabah Virus dan Protes Rakyat (Sebuah Tinjauan Historis)

 (Ilustrasi dukun di Jawa mengobati pes. Sumber foto: historia.id) Melihat ke belakang, jauh sebelum wabah pandemi virus corona atau Covid-19 menjangkiti Indonesia, rakyat pada zaman kolonialisme Belanda telah lebih dulu merasakan hidup dalam ancaman wabah virus. Dua wabah virus tersebut adalah pes dan influenza. Sejarawan Syefri Luwis dalam sebuah diskusi daring mengungkapkan, bahwa wabah pes pertama kali dilaporkan terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tahun 1905. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda tidak peduli dengan kasus tersebut karena yang terjangkit hanya dua orang. Enam tahun berselang, laporan wabah pes kembali muncul di Hindia Belanda, tepatnya di Malang Jawa Timur. Wabah ini diprediksi mulai menyebar di Malang karena faktor beras dari Myanmar. Lagi-lagi pemerintah kolonial Belanda tidak percaya begitu saja dan membantah karena meyakini tikus Myanmar berbeda dengan tikus lokal. Pada kenyataannya, tikus Myanmar mampu beradaptasi dengan lokal sehingga

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama