(Dok: Pribadi)
Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Seminggu terakhir saya menunggu tulisan
kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam
menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan
dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa
Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum
mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya
kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang
dikategorikan kiri tidak boleh dirazia dan semestinya dibaca oleh generasi saat
ini.
Bagi mahasiswa sejarah tema tentang kiri atau
kaitannya dengan komunisme bukanlah tema yang baru dalam seluk beluk dunia
perkuliahan. Sejarah Politik dan Sejarah Pergerakan Nasional adalah dua mata
kuliah wajib mahasiswa stratu satu di
jurusan saya ketika itu. Hanya saja memang harus diakui dunia kampus pun
terkhususnya jurusan yang berlatar belakang disiplin ilmu sejarah dan
pendidikan sejarah juga masih terbatas memberi ruang yang seluas-luasnya bagi
mahasiswa untuk lebih banyak mengkaji tema tersebut. Saya masih ingat ketika itu saya hendak mengajukan judul skripsi kepada dosen. Dua dari tiga
judul yang saya ajukan mengangkat tema tentang Gerakan partai Komunisme di
Sulawesi Selatan dan biografi politik salah satu tokoh komunis nasional. Bisa
ditebak, judul tersebut ditolak bukan karena keterbatasan sumber penelitian
tetapi menurut dosen tersebut judul itu dianggap berbahaya dan akan mengalami kendala dalam proses
penyelesaiannya. Tidak hanya itu, ternyata ketika mengurus persyaratan
administrasi penyelesaian studi pihak kampus
mewajibkan mahasiswanya untuk membuat surat pernyataan bersih dari pemberontakan
PKI dalam G30S 1965. Sesuatu yang sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat. Institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan
akademik ternyatamasih melihat ideologi komunisme bukanlah ideologi yang
harus dikaji secara ilmiah tetapi sama sekali tidak boleh diketahui oleh mahasiswa.
Mahasiswa sejarah menurut saya adalah pihak
yang seharusnya paling marah dan dirugikan dengan semakin maraknya razia
buku-buku kiri. Membaca buku kiri bagi mahasiswa sejarah tentunya harus dilihat
dalam konteks kebebasan akademik untuk kepentingan penelitian. UU No. 27 tahun
1999 yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara tentang larangan ajaran
Komunisme dan Marxisme/Leninisme terdapat pengecualian dalam penerapannya
ketika yang dimaksudkan untuk kepentingan akademik, pengajaran dan pengetahuan. Secara
konstitusional Pasal 28F UUD 1945 juga menegaskan jika setiap warga negara
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh dan menyebarkannya menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia. Itu artinya siapapun warga negara bebas memilih
jenis bacaan apa yang akan mereka baca termasuk juga ketika ingin membaca
buku-buku kiri.
Razia buku, pelarangan buku sampai kepada
penghancuran buku telah mewarnai catatan sejarah negeri ini, mulai dari
pelarangan buku Student Hijo Karya Mas Marco Kardikromo di zaman kolonial.
Buku-buku Pramodya Anantatoer yang berjudul Hoa Kiau di Indonesia di zaman
demokrasi terpimpin hingga pengaruh dari phobia
komunisme ala Orde Baru dengan menyusun narasi sejarah untuk kepentingan
politik kekuasaan dan kebijakan sistematis dengan melarang peredaran buku-buku
yang dianggap kiri oleh penguasa pada waktu itu. Efeknya masih begitu terasa
hingga saat ini. Isu komunisme masih kerap dijadikan jualan politik oleh
kelompok tertentu ketika mendekati momen-momen pemilu.
Selama tiga puluh dua tahun (1967-1998)
sejarah menjadi alat legitimasi bagi penguasa dan hanya ada satu versi tunggal
pemerintah mengenai peristiwa G30S 1965. Asvi Warman Adam dalam buku orasi
pengukuhan guru besarnya berjudul “Dampak
G30 S: Setengah Abad Historiografi Gerakan 30 September 1965” mengungkapkan
bahwa periode ketiga dalam penulisan historiografi Indonesia ditandai dengan
adanya upaya pelurusan sejarah terhadap hal-hal kontroversial dalam sejarah
yang ditulis pada zaman Orde Baru termasuk peristiwa G30S 1965. Zaman Reformasi
menjadi momentum bagi sejarawan untuk bersuara. Sejarah haruslah menjadi ilmu
pembebas dari kekeliruan penulisan sejarah selama tiga dekade dan sebagai upaya
menghilangkan stigmanisasi terhadap para korban dan keluarganya yang dituduh
terlibat dalam peristiwa G30S 1965.
Tentunya sebagai bangsa yang besar masyarakat
sudah semestinya mendapatkan narasi sejarah yang lebih berimbang. Pasca
reformasi telah banyak buku-buku sejarah terutama yang fokus kajian pada
peristiwa G30S 1965 dengan sumber-sumber sejarah yang berbeda dari versi orde
baru termasuk juga dari perspektif sudut pandang korban dalam peristiwa
tersebut Buku-buku sejarah yang mengulas tentang tema-tema aktivitas pergerakan
politik kaum kiri khususnya komunisme di Indonesia pada masa lalu menurut
penulis justru harus semakin banyak diterbitkan. Membaca buku-buku kiri bukan
berarti menolak keberadaan buku-buku yang juga menemukan alasan ilmiah kenapa ideologi
komunisme tidak boleh ada di Indonesia. Buku-buku tersebut bisa mendorong
inisiatif akademik mahasiswa dalam menelusuri lebih jauh melalui diskusi,
seminar, dialog publik dan penelitian sehingga kampus menjadi ruang ilmiah yang
dialektis dan demokratis.
Mahasiswa
Sejarah Jangan Diam!
Apa yang mesti ditakutkan oleh mahasiswa
sejarah untuk berani membaca buku-buku sejarah kiri dan membuka ruang-ruang
diskusi yang berkaitan dengan gerakan komunisme di Indonesia? Peristiwa G30 S
1965 telah mengubah arah bangsa Indonesia dengan lahirnya rezim bertangan besi
yang mengorbankan jutaan darah manusia-manusia Indonesia. Putusan International
People’s Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat Internasional di Den Hag Belanda
pada tahun 2016 menyebutkan, Indonesia harus bertanggung jawab dan bersalah
atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan atas tindakan pembunuhan
massal terhadap pengikut dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, serta loyalis
Presiden Soekarno dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun
1965-1966 pasca peristiwa G30S 1965.
John Roosa, sejarawan penulis
buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Suharto pada tahun 2007 dalam suatu wawancara yang
dipublikasikan Media Online Indoprogres.com pada 17 September 2012 mengungkapkan pendapatnya:
“Identitas
bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang
dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian
terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa
warganegara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah
total. Sesudah 1998 orang Indonesia
menggali lagi ide-ide dari zaman pra-1965, dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi
Terpimpin): Ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme, dll”.
Pendapat dari Roosa adalah bentuk
keprihatinan sekaligus kritikan terhadap kebijakan negara pasca peristiwa G30S
1965 yang berubah drastis baik dari segi ekonomi, politik dan budaya.
Legitimasi Orde Baru melalui propaganda buku dan film anti komunis terbukti
ampuh memobilisasi masyarakat Indonesia untuk membenci komunisme dan
membenarkan pembantaian terhadap orang-orang komunisme. Sementara bagi masyarakat
sipil yang hak-haknya terabaikan dan memilih untuk melawan kebijakan
pembangunan Pemerintah Orde Baru akan diberikan cap sebagai komunis karena
memilih membangkang terhadap pemerintah.
Tudingan bahwa Partai Komunis Indonesia anti
Pancasila dan anti Tuhan juga dibantah keras oleh D.N Aidit selaku Ketua PKI
pada waktu itu. Dalam bukunya yang berjudul PKI dan Angkatan Darat (SESKOAD)
yang diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan Jakarta pada tahun 1963. Pada halaman 18
sampai 20 dalam buku tersebut Aidit menjelaskan buah pemikirannya, bahwa lima sila dari Pancasila adalah
kenyataan objektif yang tidak dapat dibantah dilihat dari keadaan masyarakat
dan proses perkembangan sejarah Indonesia. Lebih lanjut Aidit menegaskan bahwa
kaum komunis mengakui bahwa dengan menerima Pancasila dimana salah satu silanya
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa berarti tidak diperbolehkan adanya propaganda
anti agama di Indonesia dan tidak boleh dilakukan paksaan beragama, karena
tidak sesuai dengan rasa perikemanusiaan, rasa kebangsaan, tidak sesuai dengan
demokrasi dan keadilan.
Dari hal tersebut diatas, semestinya kita bisa melihat secara kritis kenapa negara dan kelompok-kelompok ormas keagamaan begitu takut dengan isu penyebarluasan ajaran komunisme di Indonesia? Apakah kita masih terjebak terhadap dogma sejarah versi Orde Baru? Kemudian membabi buta menyalahkan keberadaan komunisme atau golongan kiri di Indonesia tanpa melihat sisi lain bahwa mereka yang dicap kiri ternyata juga memiliki kontribusi dalam panggung sejarah untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat dan sejahtera.
Sudah sepatutnya menurut penulis
mahasiswa-mahasiswa sejarah harus mengambil perannya dengan lebih banyak
mengkaji dan meneliti peristiwa sejarah yang erat kaitannya dengan gerakan
komunisme di Indonesia. Tentunya dengan berangkat dari satu tujuan bahwa saat
ini masyarakat haruslah mendapatkan banyak pilihan-pilihan bacaan alternatif
untuk lebih adil dalam menyikapi peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Membaca
buku sejarah kiri atau teori-teori tentang komunisme juga jangan dilihat
sebagai upaya untuk mengganti ideologi negara. Mempelajari ideologi komunisme
sebagai sebuah produk pengetahuan dan bagian dari sejarah panjang pergerakan
nasional merupakan cara kita melihat secara utuh bagaimana Indonesia sebagai
bangsa yang besar tidak hanya digagas oleh satu aliran pemikiran tetapi
merupakan rangkaian panjang dari sebuah dialektika beragam pemikiran ideologi
para tokoh-tokoh pergerakan dengan latar belakang politik, sosial budaya dan
agama yang berbeda.
Sesungguhnya yang lebih berbahaya dari razia
buku-buku kiri sejarah adalah ketika mahasiswa-mahasiswa sejarah memilih diam
dan menunggu waktu buku-buku tersebut hancur bukan karena dihancurkan oleh para
perazia buku melainkan buku tersebut telah dimakan rayap karena tidak pernah dibacanya sama sekali.
Mahasiswa sejarah memiliki tanggung jawab intelektual untuk segera bertindak nyata dengan menggali lebih banyak nilai-nilai dan makna peristiwa sejarah kepada
bangsa yang sedang melupakan sejarahnya. Perjuangan manusia sesungguhnya adalah
perjuangan melawan lupa kata sastrawan Milan Kundera dan perjuangan mahasiswa
sejarah adalah terus merawat ingatan masa lalu dengan membaca dan menulis buku-buku
sejarah termasuk buku-buku yang dianggap kiri. #LawanRaziaBukuKiri
Sumber bacaan:
1. Asvi Warman Adam. 2018. Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial dan Politik. Dampak G30S: Setengah abad
Historiografi Gerakan 30 September 1965. Jakarta: LIPI, 2018.
2. D.N Aidit. 1963. PKI dan Angkatan Darat. Jakarta:
Yayasan Pembaruan.
3.https://www.tribunal1965.org/putusan-akhir-majelis-hakim-ipt-1965/diakses
hari rabu, 14 Agustus 2019 pukul 12.23. Wita.
4. https://indoprogress.com/2012/09/wawancara-2/diakses hari
rabu, 14 Agustus 2019 pukul 01.18 Wita.
Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan kepada kita agar selalu mengingatkan generasi muda,
BalasHapusSaya masih muda Mas Anto😊.
BalasHapusSukses terus kak ferdhy:)
BalasHapusSukses terus kak ferdhy:)
BalasHapus