(sumber foto: Facebook WALHI)
Pencoblosan telah selesai 17
April yang lalu tetapi ada banyak cerita-cerita yang belum usai. Penting bagi
saya untuk menulis ini, setidaknya menjawab beberapa pertanyaan, tuduhan dan
cerita miring tentang saya sendiri terkait sikap saya dalam momentum Pemilihan
Umum (PEMILU) tahun ini. Setelah ini tidak ada yang berubah selain terus
berbenah diri dan belajar tanpa henti.
10 tahun yang lalu, tepatnya
tahun 2009 pertama kali saya menggunakan hak pilih saya sebagai warga negara
pada usia 17 tahun. Saya masih ingat betul pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang saya pilih adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono.
Singkat cerita alasan saya memilih SBY-Boediono. Ketika itu bapak saya sepulang
dari Jakarta dalam sebuah rangkaian acara membawa banyak buku dan salah satu
buku tersebut ada yang mengulas habis tentang sosok SBY. Buku itu berjudul “Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY”
ditulis oleh Dino Patti Jalal juru
bicara Presiden SBY ketika itu. Dalam buku tersebut membahas tentang pengalaman
SBY memimpin sebagai presiden selama satu periode sebelumnya. Saya membaca
habis buku tersebut dan ketika itu terkesima dengan cara-cara SBY dalam
menyelesaikan banyak persoalan di Indonesia. Satu referensi bacaan menjadi
alasan kuat saya memilih SBY dengan referensi pemahaman politik saya yang
tentunya masih begitu terbatas.
Memasuki dunia kampus,
mendapatkan banyak referensi bacaan,
bertemu dengan banyak orang-orang yang memiliki cara pandang politik dan
pengalaman praktik dalam kerja-kerja advokasi tentu sangat mempengaruhi proses
berkembangnya cara pandang, sikap politik dan analisa saya melihat segala isu
termasuk soal pemilu. Akhirnya saya pun memilih untuk tidak menggunakan hak
pilih saya dalam pemilu jenis apa pun yang diselenggarakan oleh negara selama
10 tahun terakhir ini. Bahkan sekitar bulan lima tahun lalu saya masih menulis
opini yang diterbitkan pada salah satu media online berjudul “Tahun Pemilu yang Biasa-Biasa Saja”.
Opini yang saya tulis ketika itu mencoba untuk menjelaskan tentang kritik
Presiden Soekarno terhadap pemilu sampai pada penyelenggaraan pemilu di
Indonesia dari zaman ke zaman yang justru melahirkan banyak kebohongan dan
perpecahan sesama rakyat Indonesia.
***
Sontak banyak yang merespon
ketika pertama kali saya memposting foto dan menulis status ajakan di akun
media sosial saya untuk memilih Kak Asmar Exwar sebagai calon Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) RI Sulawesi Selatan. Beberapa dari mereka kemudian menghubungi
saya pribadi via WhatsApp dan Facebook dengan respon yang beragam
seperti berikut:
“Tobat
meko Fer?”
“Tumben
bro?”
“Berubanamo”
“Apa
memang natawari ko kah”?
“Oh
jadi tim sukses meko sekarang cika’?”
Dulu
suka koar-koar sekarang minta jatah kekuasaan mi juga”
Respon yang positif tetap ada
tetapi dominan tentunya adalah respon seperti percakapan diatas dan itu
sangatlah wajar dari pandangan mereka tentang saya mengenai pemilu selama ini.
Tetapi sekali lagi ini penting untuk menjelaskan kepada mereka yang masih punya keinginan untuk tidak
langsung menjudge sesuatu hal tanpa
menggali informasi dan memastikan kebenarannya. Teruntuk mereka yang merasa
benar dan menyebar hoax biarkan saja
mereka bekerja serendah-rendahnya manusia.
Pertama, banyak dari mereka
tidak mengetahui siapa sosok Kak Asmar Exwar dan bagaimana sepak terjangnya.
Bukan memuji tetapi mencoba untuk mendeskripsikan tanpa mengurangi dan
menambahkan apa yang saya amati selama bersama beliau. Kak Asmar adalah mantan
Direktur WALHI Sulawesi Selatan periode 2014-2018 dan jauh sebelum itu sejak
masih kuliah beliau telah aktif dalam berbagai agenda kerja-kerja konservasi
dan advokasi penyelamatan lingkungan hidup. Saya pribadi mendapatkan banyak
pengetahuan sejak bersama beliau dalam setiap agenda-agenda kampanye,
pendampingan kasus dan pengorganisasian rakyat yang dilakukan oleh WALHI
Sulawesi Selatan. Saya pikir pengalaman dan pengetahuan beliau jauh lebih
mendalam terkait isu-isu lingkungan hidup dan sumber daya alam dibandingkan
calon-calon DPD RI lainnya di Sulawesi Selatan. Keinginan Kak Asmar untuk maju
menjadi calon legislator tentu melalui proses pendiskusian dan konsolidasi yang
melahirkan dukungan dari organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), Lembaga Advokasi Anak Rakyat (LAPAR) dan berbagai
komunitas masyarakat.
Kedua, dan ini yang banyak
salah paham terhadap sikap WALHI yang dituding pragmatis dalam gerakan rakyat karena memilih
terlibat aktif dalam Pemilu tahun ini. Berdasarkan Tinjauan Lingkungan Hidup tahun 2019 (download dokumennya di
situs www.walhi.or.id) yang diterbitkan WALHI begitu
jelas menegaskan bahwa kedua calon presiden dan keseluruhan partai politik yang
terlibat dalam pemilu tahun 2019 tidak berkomitmen terhadap isu keadilan
lingkungan hidup dan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam. Isu lingkungan
merupakan isu politik sehingga secara organisasional WALHI mendukung kader-kadernya
dan kader organisasi rakyat untuk terlibat aktif dalam momen pemilu tahun 2019
dengan memperjuangkan agenda politik lingkungan hidup dan melakukan praktik
politik bersih dan berintegritas. Intinya WALHI sampai detik ini terus
memperjuangkan terwujudnya kedaulatan politik-ekonomi serta keadilan ekologis.
Fakta yang tidak bisa kita hindari selama
ini adalah elit oligarki politik masih begitu mendominasi, tidak hanya menggunakan
praktik transaksional tetapi memanfaatkan “kondisi” dengan menguatkan politik identitas di tengah
rakyat sehingga WALHI tidak hanya mendorong isu lingkungan dalam momentum politik
tahun 2019 tetapi juga mendorong agenda politik lingkungan hidup sebagai agenda
utama para kandidat WALHI yang bertarung. Seperti yang dilakukan Kak Asmar pada
masa kampanye berkunjung pada satu daerah dan bertemu dengan rakyat, yang saya
lihat bukan janji-janji apalagi praktik kotor politik uang yang dilakukan oleh
Kak Asmar Exwar tetapi membangun ruang-ruang dialog bersama rakyat untuk
menjadikan isu lingkungan hidup sebaga referensi mereka dalam menentukan hak
pilihnya secara kritis dalam memilih calon-calon wakil rakyat dan tentunya
sebagai ruang konsolidasi penguatan rakyat untuk mengawal setiap agenda-agenda
lingkungan hidup kedepannya. Sebagai orang yang bekerja di WALHI, saya tentu
punya tanggung jawab secara organisasional dalam momen pemilu untuk mengajak
rakyat menggunakan hak politiknya, menjadi pemilih yang kritis dan menyuarakan
isu-isu lingkungan sebagaimana yang tertuang dalam platform politik keadilan
ekologis WALHI.
Ketiga, perjuangan mewujudkan
keadilan ekologis dan keadilan sosial adalah perjuangan jangka panjang. Ada
begitu banyak cara yang bisa dilakukan, tentunya berdasarkan pembacaan
situasi dan pertimbangan yang objektif salah satunya dengan menjadikan momen
pemilu untuk melawan elit politik oligarki yang membiarkan demokrasi Indonesia
dibawah tekanan kekuatan ekonomi politik
neo-liberalisme, Memang berat, tetapi membiarkan elit oligarki bermain
untuk kepentingan kekuasaannya justru akan semakin memuluskan segala
agenda-agenda yang akan semakin membuat rakyat hidup dalam kondisi yang lebih
buruk lagi. Situasinya tentu berbeda ketika telah terbangun partai politik
alternatif yang kuat dan lahir figur-figur pemimpin dari akar rumput gerakan
rakyat di Indonesia. Tentu Ini menjadi tantangan dan refleksi bagi gerakan
rakyat saat ini.
Pada saat hari pencoblosan tiba,
saya hanya memilih surat suara berwarna merah khusus untuk calon DPD. Sementara
calon legislatif dari DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota saya sama
sekali tidak menggunakan hak suara tersebut dikarenakan saya tidak menemukan figur-figur
calon yang punya rekam jejak dari kepeduliannya terhadap isu lingkungan dan
penegakan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Bagaimana dengan dua pasangan calon
Presiden dan wakil presiden? Film dokumenter Sexy Killers produksi Watch
Doc menjadi salah satu alasan dari sekian alasan sikap saya untuk tidak memilih
kedua pasangan tersebut.
Satu hal yang penting juga,
selama saya terlibat dalam rangkaian agenda politik Kak Asmar. Saya semakin
banyak mendapatkan pengalaman dan belajar untuk lebih menghargai perbedaan politik
seseorang. Memilih atau tidak memilih menggunakan hak politik dalam pemilu
bukan berarti kitalah yang paling benar dan yang lainnya salah. Justru setelah
semua rangkaian dari proses pemilu selesai, apakah kita masih mengambil peran
menuju setiap tahapan-tahapan perubahan yang lebih baik dari hari ini? Hanyalah
praktik kita yang akan menjawab semua itu.
Komentar
Posting Komentar