Langsung ke konten utama

Sampah Pantai Losari dan Reklamasi



Berkunjung ke Pantai Losari kini tidak hanya disuguhkan dengan pemandangan matahari terbenam dan beragam wisata kuliner khas Kota Makassar. Air laut berwarna hitam dan sampah berbagai jenis yang mengeluarkan bau menyengat telah menjadi pemandangan biasa setiap harinya bagi pengunjung Pantai Losari. Penataan Pantai Losari sebagai destinasi wisata pantai nyaman dan bersih tidak akan pernah terwujud jika permasalahan sampah belum mampu ditangani dengan serius oleh Pemerintah Kota Makassar.
Tumpukan sampah yang berserakan di bibir Pantai Losari  merupakan persoalan klasik yang telah terjadi sejak lama meskipun berbagai program kebijakan pengelolaan sampah telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar tetapi ternyata belum juga mampu mengatasi persoalan sampah tersebut. Yang menjadi sorotan publik saat ini ketika Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Makassar, M Iqbal S Suhaeb meninjau langsung Pantai Losari dan menyaksikan berbagai jenis sampah berserakan pada Minggu 7 juli 2019. Menurut Iqbal, air laut Pantai Losari berwarna hitam dan berbau karena tidak adanya pertukaran air secara normal akibat terhalang proyek reklamasi Center Point of Indonesia (CPI).

Sampah mengapung di Anjungan Pantai Losari (Dok; Tribunnews.com)

Dari berbagai hasil penelitian ilmiah telah menemukan fakta bahwa pencemaran sampah dan logam berat di Pantai Losari berasal dari limbah-limbah domestik kegiatan bisnis perhotelan, rumah sakit, restoran di sepanjang Pantai Losari dan limbah industri rumah tangga yang terdistribusikan melalui sejumlah kanal yang langsung menuju pantai. Industri-industri yang berada di sepanjang Pantai Losari memiliki tanggung jawab untuk mengelola limbah industri berbagai jenis yang dihasilkan untuk mengurangi pencemaran sampah dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup di Pantai Losari. Aksi bersih sampah di Pantai Losari yang sudah sering dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar juga tidak akan menjawab  persoalan sampah secara tuntas jika Pemerintah Kota Makassar belum menyelesaikan pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Terpadu Losari dan melakukan pengawasan lingkungan termasuk memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku industri yang terbukti membuang limbahnya ke laut tanpa melalui IPAL
Tinjau Ulang Proyek Reklamasi CPI
Selain limbah industri dan limbah rumah tangga, pencemaran sampah di Pantai Losari juga berkaitan dengan  proyek reklamasi CPI. Dead Zone atau wilayah laut menjadi mati karena tidak adanya sirkulasi air laut dan pelambatan arus laut akibat timbunan pasir proyek reklamasi CPI sehingga terjadi proses pembusukan dari limbah-limbah Pantai Losari. Selain itu proyek reklamasi CPI telah merusak ekosistem mangrove yang dulunya memiliki fungsi menjaga kualitas air laut dari pencemaran. Proyek reklamasi CPI yang peruntukannya lebih banyak untuk perumahan elit dan pusat bisnis juga akan semakin meningkatkan volume sampah di Kota Makassar yang berpotensi menyebabkan  pencemaran lingkungan di sepanjang Pantai Losari.
PT Ciputra Surya Tbk selaku pihak pengembang begitu yakin jika proyek reklamasi CPI dibangun di depan Pantai Losari telah memperhatikan aspek sosial dan lingkungan serta untuk mitigasi bencana. Pada faktanya dari hasil investigasi WALHI Sulawesi Selatan bahwa keberadaan proyek reklamasi CPI telah menimbulkan kerugian bagi masyakat nelayan di sekitar Pantai Losari karena produksi biota laut yang semakin berkurang sejak proyek reklamasi berjalan. Lalu jika kita membaca Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan kawasan CPI maka PT Ciputra Surya Tbk semestinya bertanggung jawab untuk menyediakan saluran-saluran air pada wilayah yang direklamasi dan membangun terusan Kanal Jongaya. Selain itu, PT Ciputra juga harus melakukan pengerukan di sekitar alur sirlukasi air sehingga menjamin terjadinya sirkulasi dan melakukan pengelolaan air limbah yang berasal dari saluran Kanal Jongaya sebelum keluar ke laut yang terhubung dengan IPAL Losari. Tetapi rencana pengelolaan tersebut masih sebatas dokumen yang belum terealisasi sampai saat ini.
Oleh karena itu penulis menilai, bukan hanya dengan membenahi tata kelola manajemen pengelolaan sampah tetapi  kita berharap agar para pengambil keputusan kebijakan bisa meninjau ulang apakah persoalan sampah yang mengakibatkan pencemaran laut solusinya harus dilakukan dengan reklamasi atau melakukan rehabilitasi lingkungan di Pantai Losari dengan berani terlebih dahulu menghentikan proyek reklamasi? Demi mengejar predikat sebagai kota dunia tentunya kita tidak ingin model pengembangan Kota Makassar dengan mereklamasi laut justru akan semakin memicu laju kerusakan lingkungan di Pantai Losari.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...

Rumah dan Musyawarah

  (Dokumentasi foto: kompasiana.com) Rumah itu akan kembali bermusyawarah. Ruang berdemokrasi untuk mencapai tujuan mulia dari rumah itu sendiri. Bermusyawarah bukan hanya tentang memilih kelak siapa bertanggungjawab sebagai pemimpin yang akan menjadi penghuni tetap rumah selama setahun lamanya. Musyawarah di dalam rumah setahu saya tidak gila akan politik busuk kekuasaan dan itu telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Lalu muncul pertanyaan, apakah musyawarah rumah kali ini akan menjadi momentum untuk membersihkan segala isi rumah yang dianggap membatasi kemajuan ruang berpikir dan berkarya? Pertanyaan tersebut lebih kepada arah refleksi dan evaluasi, karena begitulah sesungguhnya subtansi dari bermusyawarah. Kita bermusyawarah untuk mencari akar masalah dan mencari jalan keluarnya secara bersama-sama. Pertanyaan selanjutnya adalah, beranikah kita untuk mengakui jika memang rumah tempat kita belajar segala hal juga memiliki kekurangan? Atau sebaliknya kita tidak berani sa...