by Salvador Dali (1943)
Tulisan ini menurut saya adalah sebuah keberanian dari proses merasakan, melihat dan berusaha menyimpulkan keadaan kongkret yang sebenarnya terjadi. Keberaniannya terletak pada subjektifitas saya sendiri, karena menulis juga membutuhkan keberanian menyampaikan pesan kemanusiaan dari fakta yang terjadi. Di sisi lain, selama saya menjadi mahasiswa belum juga saya menemukan tulisan-tulisan yang membahas tentang kultur kampus, sesuatu yang sensitif menurut kebanyakan mahasiswa yang menurut saya mungkin saja karena sudah terbius pemaknaan dengan kultur itu. Sekali lagi saya tertarik menulisnya dengan segala konsekuensinya.
Hal apa yang pertama kali anda dapatkan pada saat menjadi mahasiswa dan berinteraksi dengan lembaga kampus melalui aktivitas atau kegiatan yang bernama kaderisasi? Pribadi saya menjawab bahwa yang saya dapatkan adalah bagaimana menghargai angkatan mahasiswa yang lebih tua. Bagaimana cara saya menghargainya? Seperti mahasiswa lainnya yang masih polos dan takut, ketika berinteraksi dengan angkatan yang lebih tua penting untuk menjaga sikap, perkataan ataupun tindakan agar mereka tidak tersinggung dan dianggap kurang ajar. Mungkin itulah pengenalan awal saya tentang kultur kampus, yang menurut saya tidak jauh berbeda denga ajaran agama dan pesan moral orang tua di kampung tentang bagaimana menghargai sesama manusia. Tetapi bukan soal nilai penghargaan itu yang menjadi sorotan saya, penghargaan itu hanyalah bungkusan yang isinya berupa manusia-manusia yang gila kehormatan, popularitas dan kekuasaan di kampus.
Dari tahun ke tahun, hal yang seperti itu terus terjadi. Sebuh pesan kultural, turun temurun dan menjadi tradisi lisan bagaimana menghargai angkatan mahasiswa yang lebih tua. Banyak sudah kejadian yang membuat mahasiswa pesakitan karena melanggar kultur itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan adalah apa tolak ukur dari mereka yang melanggar kultur itu sendiri? Kalau pun ada siapa yang membuat tolak ukur tersebut? Karena menurut saya, setiap manusia memiliki pengalaman masa lalu yang berbeda dan mempengaruhi kesadaran maupun wataknya saat ini jadi adalah hal yang wajar saja sering terjadi kesalapahaman dalam hal berinteraksi. Apakah mereka yang penganut sejati kultur memahami persoalan ini?
Sampai saat ini masih begitu kuatnya pesan bagaimana mempertahankan kultur sebagai sebuah identitas dari sekian banyak golongan atau kelompok mahasiswa yang ada di kampus, tetapi kalau kita berpikir lebih dialektis bahwa keadaan senantiasa bergerak dan berkembang dan tidak akan kembali pada keadaan yang semula, mempertahankan kultur adalah hal yang sangat keliru dan tidak akan mungkin terjadi karena justru menafikkan keberadaan ruang dan waktu itu sendiri.
Pembatasan kultur dan seperti apa seharusnya kultur kampus itu
Menjadi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan bagi mereka yang berkompetisi menjadi mahasiswa dan sebuah identitas yang tak ternilai bagi mereka yang haus akan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah lahirnya sebuah golongan terpelajar atau mahasiswa pada zaman Kolonial Belanda kehadiran pendidikan dalam bentuk sekolah formal telah menggunggah kesadaran beberapa pribumi terpelajar akan nasib bangsanya yang terjajah pada saat itu dan menjadi titik balik sejarah perlawanan terhadap penindasan yang dalam fase perkembangannya mahasiswa selalu menjadi bagian dari sejarah perjuangan melawan penindasan oleh sebuah rezim pemerintah sampai saat ini. Melihat sejarah mahasiwa seharusnya membuat kita sadar bahwa sesungguhnya ada warisan sejarah yang mesti kita pelihara dan dirawat sebaik-baiknya agar semakin membesar dan bisa merubah keadaan, yaitu kultur perlawanan yang didapatkan dari proses belajar dan berorganisasi.
Kultur perlawanan berbeda dengan kultur penghargaan di kampus. Kultur perlawanan jelas memiliki sebuah tujuan yang mulia tentang pembebasan manusia dari ketertindasan dan penghisapan, berbeda dengan kultur penghargaan yang sadar atau tidak kita sadari lahir dari sebuah subjektifitas ide dari manusia yang berkepala batu dan haus akan kekuasaan. Kita akan melihat di kampus dan bisa jadi kita sendiri adalah pelaku yang menikmati kedudukan sebagai mahasiswa penganut kultur yang gila akan penghargaan atau penghormatan dan merasa benar karena faktor sebagai angkatan mahasiswa yang lebih tua. Sering kali pula kultur dijadikan alasan untuk membenarkan yang salah bagi perilaku dan tindakan yang sebenarnya sudah salah jika dilihat dari sudut pandang manapun itu. Keadaan ini ketika dibiarkan melahirkan pembatasan, pembatasan mendapatkan kebenaran objektif dan pembatasan menjadi mahasiswa yang maju dari pengetahuan dan pengalaman. Dan pembatasan itulah melahirkan generasi mahasiswa yang tidak ilmiah, penuh ketakutan dan ketergantungan ide dari mahasiswa angkatan tua. Menjadi refleksi buat kita semua termasuk saya sendiri bahwa dunia kampus bukanlah tempat untuk mendapatkan hak istimewa seperti kehormatan dan kekuasaan, tetapi dunia kampus adalah tempat menempa diri menjadi terpelajar yang berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.
Tulisan ini saya akhiri dengan sebuah puisi sederhana..
Kami datang untuk merdeka, bukan menjadi hamba..
Apa bedanya kalian dengan penguasa yang mengumbar arogansi..
Kami diseragamkan untuk patuh dan tunduk dengan alasan kultur..
Kultur? Kalian siapa? Mengatur, mengontrol dan kami terbatas sehingga tidak menjadi manusia seutuhnya..
Kalian malah mengaburkan hakikat kebenaran dari kami sebagai terpelajar, menggunakan alasan kultur untuk mendapatkan kenikmatan..
Pernah suatu ketika, anda berbicara kultur di depan kami dan membunuh kami dengan kultur itu sendiri..
Kami menjadi generasi tak berani mengkritik, hanya sebatas mampu melihat ulah kalian yang jauh dari kesan terpelajar. Tapi sekali lagi kami hanya bisa diam tidak memiliki hak..
Jelas, kalian bukan panutan karena tidak memiliki nilai kemanusiaan.. Tinggal menunggu waktu saja, kami akan pergi dan menjauh dari segala pembatasan ini…
Timur Merah
assalamualaikum, izin repost mas. semangat.terimakasi
BalasHapus