Langsung ke konten utama

World Trade Organization (WTO) dan Skema Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945)
Bubarkan saja Negara.. kata Iwan Fals dalam salah satu lirik lagunya. Kalau Negara dalam hal ini pemerintah sudah tidak mampu membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Bukanlah sebuah kalimat provokatif dari Iwan Fals yang ingin membubarkan Negara menjadi hal yang subtansial untuk diperdebatkan, tetapi apakah betul pemerintah saat ini sudah membebaskan biaya pendidikan? Espektasi akan terbangunnya bangsa yang cerdas “seperti amanat UUD 1945” dengan tatanan masyarakat yang maju secara ekonomi, politik dan kebudayaan dan tercermin dalam penghidupan yang adil, sejahtera dan berdaulat, sampai saat ini belum bisa terwujud. Sebab kenyataannya, pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat jauh dari harapan untuk dapat diabdikan bagi kepentingan Rakyat. Pendidikan saat ini, lebih diorientasikan pada kepentingan pasar semata dan, terbukti tidak pernah mampu menjawab persoalan rakyat Justru rakyat Indonesia dihambat dengan biaya yang sangat besar sebelum masuk ke pendidikan tinggi. Secara umum, biaya pendidikan tinggi diseluruh Indonesia saat ini mulai dari Rp. 700.000 hingga Rp. 200 juta. Biaya yang relatif lebih tinggi, terutama didasarkan pada program study atau jurusan-jurusan khusus (Ex. Kedokteran atau jurusan kesehatan lainnya, Vocasi, dll). Pendidikan yang mahal ternyata juga tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS, hingga Februari 2010 jumlah penduduk yang bekerja mencapai 107,41 juta orang dari 116 juta angkatan kerja di Indonesia. Maka jumlah pengangguran mencapai 8,59 juta orang atau sekitar 7,41%. Dan berdasarkan identifikasi yang dilakukan BPS, yang bekerja di sektor formal hanya sebanyak 33,74 juta orang atau 31,42%, sedangkan bekerja pada sektor informal mencapai 73,67 juta orang atau 68,58%. Maka jumlah pengangguran di Indonesia bisa saja lebih dari 8,59 juta orang karena yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa kapan-kapan saja kehilangan pekerjaannya.Begitupun dengan jumlah pengangguran terdidik yang masih sangat besar. Dari jumlah penduduk yang bekerja, sebesar 55,31 juta orang atau 51,50% adalah yang berpendidikan SD ke bawah, SMP 20,30 juta atau 18,9%, SMA 15,63 juta atau 14,5%, SMK 8,34 juta atau 7,8%, sedangkan Diploma I, I, III 2,89 juta atau hanya 2,7%, dan Sarjana 4,94 juta atau hanya 4,6%. Berdasarkan data Bapenas 2012, diantra 237,6 juta penduduk indonesia, 26,8% atau 64 juta jiwanya adalah remaja dengan usia 15-24 tahun  Hal ini dapat kita lihat dengan tingkat akses pendidikan tinggi di Indonesia yang masih terbilang sangat rendah hanya 4,2 juta jiwa (BPS, Agustus 2010) dari sekitar 25 juta jiwa pemuda (usia 18-25) yang layak kuliah.  

Perdagangan pendidikan oleh World Trade Organization (WTO)

Melalui GATT-WTO sebagai salah satu skema penghisapannya yang mengikat bagi seluruh Negara anggotanya dalam aspek perdagangan, telah menjalankan skema liberalisasi-nya tidak hanya dalam aspek perdagangan, namun juga menarik sejumlah sektor public kedalam sector jasa sehingga dapat diperdagangkan dan memberikan keuntungan yang melimpah. Dibawah kesepakatan General Agreement on Tariffs and Service (GATS-WTO), WTO telah meletakkan pendidikan sebagai salah satu sector jasa, berdampingan dengan kesehatan dan teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya sangat menjanjikan keuntungan yang melimpah. Sejak tahun 1980an, liberalisasi pendidikan telah memberikan kontribusi yang tinggi bagi pendapatan domestic bruto (PDB) negara-negara maju. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggeris dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105). Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sector jasa negaranya. Sementara, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan Australia telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut berjuang keras meliberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO. Secara khusus, pemerintah Indonesia, sebagai Negara anggota pendiri WTO kemudian dengan segera melakukan ratifikasi atas seluruh kebijakan dalam WTO dengan menerbitkan Undang-Undang No.7 Tahun 1994, tanggal 2 Nopember 1994, tentang pengesahan “Agreement Establishing the World Trade Organization”.Tahun 2001 pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Orgnization/WTO), dimana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya berbagai kebijakan undang-undang di sektor pendidikan yang jauh dari kebutuhan rakyat Indonesia, seperti  UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2010.  Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) pada tanggal 13 Juli 2012 oleh DPR-RI serta penerapan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) semakin melegitimasi adanya komersialiasi pendidikan tinggi, pelepasan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan berdampak pada semakin rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia.

Bagaimana Sikap Kita?

WTO sebagai salah satu instrument Kapitalisme Monopoli dalam mendominasi Negara-negara bergantung diseluruh dunia justru telah menyebabkan penderitaan yang demikian hebat bagi Rakyat. Rakyat semakin terjerat dalam kemiskinan dan berbagai bentuk keterbelakangan secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Sektor pendidikan yang turut diliberalisasi menjadi sector jasa melalui kesepakatan GATS-WTO tidak hanya telah menjadi mesin pemeras rakyat dalam aspek ekonomi yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh Rakyat. Namun dibawah kesepakatan yang mengikat tersebut juga telah mengubah haluan orientasi pendidikan melalui kurikulum yang tidak menjamin perkembangan kebudayaan rakyat. Pendidikan diorientasikan hanya untuk mencetak tenaga-tenaga kerja siap pakai dengan skill dan ilmu pengetahuan rendah yang hanya diabdikan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.
Dengan penghisapan dan berbagai kerusakan yang telah diciptakan Kapitalisme Monopoli ldibalik WTO dan berbagai skema lainnya selama ini, tentu sangat mendesak bagi rakyat diseluruh dunia untuk mengkaji kembali keberadaan WTO, guna membongkar seluruh skema penghisapannya terhadap rakyat. Jika WTO telah digunakan sebagai salah satu ruang konsolidasi bagi Kapitalisme Monopoli untuk melakukan penguasaan pasar secara brutal (tidak adil) dan untuk memperkuat Intervensinya diberbagai negeri, maka ruang telah menjadi media yang objektif bagi rakyat untuk menyatukan diri dan terus melakukan konsolidasi-konsolidasi terkhsus dikalangan sektoral pemuda mahasiswa yang terkena dampak langsung dari liberalisasi pendidikan agar segera menyusun rencana-rencana taktis dan strategis dalam menyikapi pertemuan tingkat menteri ke-9 di Bali pada Bulan Desember 2013 Mendatang. Bubarkan WTO! Tolak Liberalisasi Pendidikan! Wujudkan pendidikan yang mengabdi pada rakyat!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teripang, Tarekat, dan Tionghoa (Sebuah Catatan Perjalanan Riset di Pulau Barrang Lompo)

Bulan ini cukup padat, beberapa deadline pekerjaan harus segera diselesaikan. Rencananya agenda ke Pulau Barrang Lompo pada akhir bulan April tetapi tertunda. Akhirnya baru bisa berangkat pada Selasa, 07 Mei 2024 setelah mengutak-atik ulang agenda kerja dan bernegosiasi ulang dengan beberapa "juragan". Sejarah umat manusia tidak bisa lepas dari aktivitas negosiasi termasuk segala keputusan politik yang memulai perang dan mengakhiri perang. Sepertinya ini sudah mulai agak melebar pembahasannya. Okelah , saya memulai bernegosiasi dengan beberapa teman untuk mengajaknya ke Pulau Barrang Lompo. Semua teman yang saya ajak ternyata tidak bisa ikut dengan berbagai alasan. Mungkin tawaran saya dalam bernegosiasi kurang menarik bagi mereka. Seharusnya saya menawari mereka bagaimana lezatnya mencicipi Sup Teripang di Pulau Barrang Lompo. Sup teripang itu memang ada di Pulau Barrang Lompo, bukan hanya makanan khas dari negeri Tiongkok. Menurut Uci (26), untuk teripang yang suda

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama