Kota
Perampas
5x5
M ukuran gubuk penghapus lelah dalam memikul beban hidup seahari-hari bagiku
merupakan surga kecil dengan senyum ramah ketulusan sang pemilik gubuk disertai
dengan tingkah lucu tiga bocah yang sedang asyiknya bermain bersama ikan
peliharaanya. dipersilahkannya kami masuk ke gubuk kehidupannya sudah merupakan
kesyukuran bagi aku dan kawan seperjuanganku. Ku menatap langit-langit gubuk
sang pemilik yang hanya ditutupi seng bekas dan bocor dan ketika hujan mereka sekeluarga
hanya bisa bersabar melihat air hujan jatuh dari langit-langit gubuknya dan terkadang
banjirpun telah menjadi bagian dari hidup mereka. Didepan gubuk sang pemilik
berserakan berbagai macam sampah yang baunya sangat menyengat, sang pemilik
rumah tidak bisa membuang sampah ke
tempat asalnya dikarenakan menurutnya
hanya untuk membuang sampah harus mengeluarkan uang dari kantong tipisnya
ditengah biaya hidup kota semakin mahal.
Kami
berdua pun bercengkrama dengan sang pemilik gubuk dan lagi-lagi dengan perasaan
yang tidak enak, sang pemilik gubuk
menyuguhi kami dengan dua cangkir teh panas seakan-akan mereka rmenganggap kami
sebagai sang raja yang harus dilayani dengan sempurna. Keluarga kecil tersebut
tidak lagi mempersoalkan beban hidup yang semakin berat, mereka nampaknnya sudah
dilatih dan di tempah dalam menjalani hidup yang keras ini, tapi hati kecil ini
berbicara kenapa mesti mereka harus menerima kenyataan pahit seperti ini
padahal setiap hari mereka banting tulang dan tak sebanding dengan hasil yang
mereka inginkan. Kerja keras mereka hanya untuk mengganjal isi perut mereka
sementara kebutuhan-kebutuhan penting lainnya seperti kesehatan dan pendidikan
adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dijangkau meskipun didalam benak mereka
selalu ada harapan akan sebuah hidup yang lebih baik dari sekarang.
Sang
pemilik gubuk sangat bersahabat ketika diajak bercengkrama, apa yang kami
kemudian tanyakan kepada mereka ditanggapi dengan serius tapi santai dan dengan
memberikan jawaban yang sangat menarik dan membuat kami seakan tidak percaya
karena pendidikan terakhir sang pemilik gubuk adalah tidak tamat SD sama sekali
akan tetapi dia seakan tahu kondisi realitas pendidikan di kota Makassar,
Menurutnya ketiga anak saya kelak nantinya akan menjadi matahari keluarga yang
dapat menyinari dan menghangatkan mereka dari kebekuan duniawi, meskipun kata
sang pemilik gubuk bahwa akses untuk memperoleh pendidikan bagi kami keluarga
buruh harian sangat sulit bahkan tidak ada sama sekali. Aku dan kawan
seperjuanganku adalah segelintir orang di Indonesia yang beruntung dan sangat
bersyukur karena sampai hari ini masih bisa mengenyam atau merasakan pendidikan
formal dibandingkan dengan keluarga sang pemilik gubuk yang secara ekonomi
tidak bisa menjangkau akses pendidikan meskipun kami berdua tidak yakin dengan
masa depan kami berdua dikarenakan pengangguran terdidik semakin membanjiri
Indonesia.
Harapan
dan mimpi sang pemilik gubuk bisa dikatakan sama dengan masyarakat Indonesia
yang berada digaris kemiskinan yaitu “kesejahteraan”. Sangat ironis dan
memilukan ditengah budaya pembangunan menuju kota metropolitan akan tetapi
tingkat kesejahteraan masyarakat jauh dari harapan rakyat. Hati nurani telah membeku bagi para penguasa kota ini, nafsu duniawi
seakan menggerakkan mereka tanpa batasan nilai-nilai “siri na pace”. Dulu 16 abad yang lalu kota ini menurut Raffles
dalam bukunya “The History Of Java” Bahwa Orang Bugis-Makassar terutama
pemimpinnya dimasa itu sangat disegani dan disenangi oleh masyarakatnya
dikarenakan keteguhan rasa kasih dan kehangatan jiwa pemimpin mereka sehingga
mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya. Apa yang terjadi
pada penguasa atau pemimpin kota dewasa ini? Fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat miskin kota adalah jawabannya. Aku dan kawanku tak bisa berbuat
dengan segala pengetahuan usang yang kami peroleh dikampus terhadap penderitaan
yang dialami sang pemilik gubuk. Sampai kapan penguasa kota berhenti merampas
hak-hak dasar masyarakatnya sebagai manusia? Sikap dan tindakan kita yang akan
menjawab serakah para penguasa kota
kedepannya. Bangun dari tidurmu pemuda mahasiswa karena fajar telah tiba dan
jangan biarkan waktu berlalu begitu saja tanpa ada sekelumit perubahan yang
kita lakukan karena kota semakin merampas hak hidup..
Kota
Perampas
5x5
M ukuran gubuk penghapus lelah dalam memikul beban hidup seahari-hari bagiku
merupakan surga kecil dengan senyum ramah ketulusan sang pemilik gubuk disertai
dengan tingkah lucu tiga bocah yang sedang asyiknya bermain bersama ikan
peliharaanya. dipersilahkannya kami masuk ke gubuk kehidupannya sudah merupakan
kesyukuran bagi aku dan kawan seperjuanganku. Ku menatap langit-langit gubuk
sang pemilik yang hanya ditutupi seng bekas dan bocor dan ketika hujan mereka sekeluarga
hanya bisa bersabar melihat air hujan jatuh dari langit-langit gubuknya dan terkadang
banjirpun telah menjadi bagian dari hidup mereka. Didepan gubuk sang pemilik
berserakan berbagai macam sampah yang baunya sangat menyengat, sang pemilik
rumah tidak bisa membuang sampah ke
tempat asalnya dikarenakan menurutnya
hanya untuk membuang sampah harus mengeluarkan uang dari kantong tipisnya
ditengah biaya hidup kota semakin mahal.
Kami
berdua pun bercengkrama dengan sang pemilik gubuk dan lagi-lagi dengan perasaan
yang tidak enak, sang pemilik gubuk
menyuguhi kami dengan dua cangkir teh panas seakan-akan mereka rmenganggap kami
sebagai sang raja yang harus dilayani dengan sempurna. Keluarga kecil tersebut
tidak lagi mempersoalkan beban hidup yang semakin berat, mereka nampaknnya sudah
dilatih dan di tempah dalam menjalani hidup yang keras ini, tapi hati kecil ini
berbicara kenapa mesti mereka harus menerima kenyataan pahit seperti ini
padahal setiap hari mereka banting tulang dan tak sebanding dengan hasil yang
mereka inginkan. Kerja keras mereka hanya untuk mengganjal isi perut mereka
sementara kebutuhan-kebutuhan penting lainnya seperti kesehatan dan pendidikan
adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dijangkau meskipun didalam benak mereka
selalu ada harapan akan sebuah hidup yang lebih baik dari sekarang.
Sang
pemilik gubuk sangat bersahabat ketika diajak bercengkrama, apa yang kami
kemudian tanyakan kepada mereka ditanggapi dengan serius tapi santai dan dengan
memberikan jawaban yang sangat menarik dan membuat kami seakan tidak percaya
karena pendidikan terakhir sang pemilik gubuk adalah tidak tamat SD sama sekali
akan tetapi dia seakan tahu kondisi realitas pendidikan di kota Makassar,
Menurutnya ketiga anak saya kelak nantinya akan menjadi matahari keluarga yang
dapat menyinari dan menghangatkan mereka dari kebekuan duniawi, meskipun kata
sang pemilik gubuk bahwa akses untuk memperoleh pendidikan bagi kami keluarga
buruh harian sangat sulit bahkan tidak ada sama sekali. Aku dan kawan
seperjuanganku adalah segelintir orang di Indonesia yang beruntung dan sangat
bersyukur karena sampai hari ini masih bisa mengenyam atau merasakan pendidikan
formal dibandingkan dengan keluarga sang pemilik gubuk yang secara ekonomi
tidak bisa menjangkau akses pendidikan meskipun kami berdua tidak yakin dengan
masa depan kami berdua dikarenakan pengangguran terdidik semakin membanjiri
Indonesia.
Harapan
dan mimpi sang pemilik gubuk bisa dikatakan sama dengan masyarakat Indonesia
yang berada digaris kemiskinan yaitu “kesejahteraan”. Sangat ironis dan
memilukan ditengah budaya pembangunan menuju kota metropolitan akan tetapi
tingkat kesejahteraan masyarakat jauh dari harapan rakyat. Hati nurani telah membeku bagi para penguasa kota ini, nafsu duniawi
seakan menggerakkan mereka tanpa batasan nilai-nilai “siri na pace”. Dulu 16 abad yang lalu kota ini menurut Raffles
dalam bukunya “The History Of Java” Bahwa Orang Bugis-Makassar terutama
pemimpinnya dimasa itu sangat disegani dan disenangi oleh masyarakatnya
dikarenakan keteguhan rasa kasih dan kehangatan jiwa pemimpin mereka sehingga
mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya. Apa yang terjadi
pada penguasa atau pemimpin kota dewasa ini? Fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat miskin kota adalah jawabannya. Aku dan kawanku tak bisa berbuat
dengan segala pengetahuan usang yang kami peroleh dikampus terhadap penderitaan
yang dialami sang pemilik gubuk. Sampai kapan penguasa kota berhenti merampas
hak-hak dasar masyarakatnya sebagai manusia? Sikap dan tindakan kita yang akan
menjawab serakah para penguasa kota
kedepannya. Bangun dari tidurmu pemuda mahasiswa karena fajar telah tiba dan
jangan biarkan waktu berlalu begitu saja tanpa ada sekelumit perubahan yang
kita lakukan karena kota semakin merampas hak hidup..
Komentar
Posting Komentar