Langsung ke konten utama

Desember dan Harapan

Butuh waktu tahunan untuk menghidupi..
Tapi ini semua kenyataan yang harus kita hadapi..
Harapan tidak boleh mati..
Walau masjid dipenuhi sampah dan orang mati..
#Iwan Fals#

"Bro, sampai kapan ki'bertahan dalam kondisi yang seperti ini?".
"Kak, Kenapa tidak ada yang berubah dari usaha yang dilakukan selama ini?"
"Nda usah meko berorganisasi! Fokus meko selesai, tdk ada ji gunanya apa mubikin sekarang"
"Alhamdulillah, bulan 12 di wisuda meka cika.. kapan nyusul?"
.................................................................................................................................

Adakah kalimat yang bisa menjadi obat dari keluh kesah dengan keadaan? Atau bersembunyi untuk  sementara waktu, sembari menunggu wahyu dari Jibril? Genap sudah memasuki bulan penghujung tahun dari 11 bulan yang lalu. Katanya Desember bulan penghujan?  Wahai Hujan, apakah kau kebahagian atau kesedihan? Kalau aku bisa memilih, pastinya kebahagian selalu menyertai selalu. Kawan lama menepuk bahu dan berkata. "Yang mana itu dibilang bahagia sappo?". Dan diam tak terjawab berlalu sejenak waktu..

Begitu indah jika kita mendengarkan suara hati. Dimana putus asa senantiasa menutupnya. Harapan menghargai kemajuan meski perlahan karena sadar bahwa "perjalanan jauh ke muka selalu dimulai dengan langkah pertama". Harapan memaklumi kesalah pengertian karena tujuannya adalah melayani dengan lebih baik lagi. Menyalakan terang dan tidak mengutuki kegelapan.

Kawanku yang inspiratif juga menegaskan dalam sepenggal tulisannya, : 
Mohon, berhentilah Menghakimi diri Sendiri...
Mohon, berhentilah Merendahkan diri dan seluruh capain Pekerjaan yang sudah-sudah...
Mohon, Berhentilah Me-Ragu dalam mengambil keputusan dan bertindak...

Desember tersenyum walau tertatih dalam perjalanan. Segera menanti tahun-tahun yang gemilang.. Desember adalah refleksi penutup dari kesalahan, kegelisahaan, ketidakpercayaan dan segala hal yang menghambat gerak maju kita. Apresiasi adalah kata yang patut kita berikan kepada diri kita, kawan kita, dan semua yang telah menjadi ruang belajar selama ini. Mari berpegang erat selalu, menikmati desember bergumul tawa selalu. Saling mengingatkan dan tiada henti belajar bersama. Percayalah bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia!

Jikalau besok dan kedepannya adalah terakhir kalinya menyapa kawan, di depanmu akan kubacakan syair Pablo Neruda. Bahwa harapan tidak boleh mati walaupun PEMBATASAN terus akan berdenyut dan tak pernah pergi.


Yang telanjang (Pablo Neruda)

Cahaya ini adalah Matahari yang berlari,
lingkaran ini adalah Timur,
kekacauan buatan angin
di atas pesan-pesannya yang paling jernih
dan tengah hari menjulang seperti
sebuah tiang yang menyangga langit
sementara garis-garis putih terbang
dari kesunyian ke kesunyian sampai mereka menjelma
burung-burung kecil di udara,
garis-garis menuju kebahagiaan..


Tetap semangat para pejuang..
Desember dan Harapan membebaskan kesunyian untuk semua manusia yang berhak berbahagia..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...

Rumah dan Musyawarah

  (Dokumentasi foto: kompasiana.com) Rumah itu akan kembali bermusyawarah. Ruang berdemokrasi untuk mencapai tujuan mulia dari rumah itu sendiri. Bermusyawarah bukan hanya tentang memilih kelak siapa bertanggungjawab sebagai pemimpin yang akan menjadi penghuni tetap rumah selama setahun lamanya. Musyawarah di dalam rumah setahu saya tidak gila akan politik busuk kekuasaan dan itu telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Lalu muncul pertanyaan, apakah musyawarah rumah kali ini akan menjadi momentum untuk membersihkan segala isi rumah yang dianggap membatasi kemajuan ruang berpikir dan berkarya? Pertanyaan tersebut lebih kepada arah refleksi dan evaluasi, karena begitulah sesungguhnya subtansi dari bermusyawarah. Kita bermusyawarah untuk mencari akar masalah dan mencari jalan keluarnya secara bersama-sama. Pertanyaan selanjutnya adalah, beranikah kita untuk mengakui jika memang rumah tempat kita belajar segala hal juga memiliki kekurangan? Atau sebaliknya kita tidak berani sa...