Tidak lama lagi atau bulan September
2013 mendatang, Makassar akan memilih walikota dan wakil walikota yang baru.
Suasana pertarungan politik sudah mulai terasa di mana-mana. Para calon
walikota jauh hari telah memulai strategi politiknya dengan melakukan
sosialisasi di tengah masyarakat untuk mendapatkan kemenangan pada pemilihan
nantinya. Salah satu strategi yang
paling banyak di gunakan untuk bersosialisasi di publik adalah menggunakan baliho
sebagai strategi komunikasi
politik dengan menggunakan gambar untuk mempengaruhi massa agar ikut dengan apa
yang di sampaikan dalam pesan baliho itu. sebagai. Pemandangan
baliho calon walikota dan wakil calon walikota bisa dengan mudahnya kita jumpai
di sepanjang jalan dapat terlihat
Baliho para calon, di papan reklame yang paling besar, di tiang listrik hingga
di pohon-pohon.
Apakah ada manfaat yang di rasakan
masyarakat dari pemasangan baliho yang dilakukan oleh para calon walikota? Jujur saja, apa
yang ada di pikiran kita, jika kita melihat ada sebuah baliho menutupi
keindahan kota? Mata kita akan terasa aneh. Tidak ada keindahan sama sekali
dari baliho tersebut dibandingkan dengan keindahan taman kota yang asri dan
sejuk. Namun kenapa masih banyak orang memasang baliho yang begitu besar,
sehingga menutupi keindahan kota. Kenapa kita harus berpromosi di tempat yang
sebenarnya sudah indah dengan tatanan taman, pepohonan yang rindang maupun tembok-tembok yang telah rapi? Kenapa
harus kita rusak? Padahal sebenarnya, biaya yang dikeluarkan untuk membuat
sebuah baliho dan membayar pajak restribusi itu tidak murah, sangat mahal.
Namun kenapa banyak orang masih memakai cara itu? Apakah cara itu masih efektif?
Inikah yang dinamakan
dengan kesadaran demokrasi? Atau apakah para calon walikota sudah paham dengan
praktek demokrasi yang sehat? Sebagaimana dikatakan oleh Larry Diamond (1990),
demokrasi memang mengandung paradoks-paradoks. Di antara paradoks-paradoks
dalam demokrasi adalah adanya kebutuhan untuk lebih mengutamakan kepentingan
banyak orang di satu sisi dan kepentingan efisiensi di sisi yang lain. Alasan
kepekaan dengan situasi dan kondisi masyarakat adalah tradisi musiman mendekati
pemilihan umum. Berbicara tentang kepekaan, apakah para calon walikota peka dengan
hal yang paling sederhana? Tentang kebersihan lingkungan kota? Pemasangan
baliho calon walikota yang sudah sangat jelas merusak keindahan kota adalah
salah bukti kongkret yang sederhana dari sekian banyak problematika demokrasi pelaksanaan pemilu, bahwa proses
demokrasi di negeri ini hanyalah bersifat prosedural dan tak menyentuh
sendi-sendi pokok masyarakat secara subtansial sehingga mengancam proses
pembangunan demokrasi di Indonesia yang seharusnya mengedepankan prinsip hak
asasi dengan melindungi hak-hak minoritas.
Menjamurnya baliho calon walikota di Kota Makassar adalah
merupakan bentuk ketidakpercayaan diri para calon yang mengaku sebagai
pemimpin. Baliho tidak ubahnya
politik menutup kondisi apa adanya, sikap buruk menjadi baik sehingga semuanya
adalah gambar bisu dan bahasa yang tidak merealitas. Biarkan masyarakat menilai
secara objektif dari perilaku dan kinerja
calon kesehariannya, apakah memang layak atau tidaknya untuk dipilih. Para
calon yang terlibat dalam pesta demokrasi sudah seharusnya bertindak demokratis
dimulai dari tindakan yang paling sederhana salah satunya dengan tidak
mengotori keindahan kota yang akan dipimpinnya ketika sudah terpilih nanti.
Masyarakat tentunya menginginkan pemimpin figur yang bersih dari segala aspek,
jadi jangan menjanjikan pemerintahan yang bersih kepada masyarakat kalau belum
menjadi pemimpin saja sudah melakukan tindakan mengotori dan merusak lingkungan
kota. Demokrasi itu indah, demokrasi itu damai dan demokrasi itu harus
demokratis.
Verdhy
Komentar
Posting Komentar