Apa yang dialami Saut mengingatkan saya pada suatu peristiwa yang hampir sama beberapa tahun yang lalu ketika masih berstatus mahasiswa. Ketika itu lembaga kemahasiswaan di fakultas saya menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan advokasi. Salah satu narasumbernya adalah teman saya yang merupakan seorang aktivis tani dan lingkungan. Teman saya ini sudah bertahun-tahun lamanya mengabdikan hidupnya berjuang bersama rakyat di salah satu daerah yang sedang terjadi kasus konflik agraria. Teman saya pun berangkat dari daerahnya menuju Makassar dengan menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk membawakan materi sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut. Ironisnya adalah, teman saya yang setelah membawakan materi langsung balik ke daerahnya sama sekali tidak mendapatkan honor. Jangankan honor, uang untuk biaya pengganti transportasi pergi dan pulang ke daerahnya juga tidak ada! Teman saya hanya mendapatkan piagam sertifikat dan sisa-sisa satu rokok bungkus yang diberikan panitia saat membawakan materi. Peristiwa itu membuat saya malu kepada teman sendiri dan marah kepada panitia. Saya yakin peristiwa semacam ini sampai sekarang masih sering terjadi di dunia kemahasiswaan.
Dengan alasan solidaritas dan latar belakang narasumber sebagai aktivis, akademisi dan pegiat literasi yang memilih sikap hidup “jalan sunyi”, apresiasi dalam bentuk honorarium kepada mereka sama sekali tidak ada atau bahkan tidak manusiawi. Kadang masih ada juga saya dengar pandangan keliru dari mereka yang bergelut dalam dunia kemahasiswaan ketika ingin mengundang narasumber. Seperti misalkan: “Cukup rokok saja sama Teh Gelas mu kasi’ itu narasumber karena sederhana ji itu orangnya” atau “Masa aktivis mu kasi uang sebagai narasumber, nah dia berjuang bukan karena uang”. Dalam kasus seperti ini jangan melihatnya dari sudut pandang yang sempit dan terkesan melihat narasumber bersikap pragmatis. Jalan sunyi yang ditempuh oleh narasumber adalah dunia yang tidak memberikan imbalan jabatan dan kemewahan ekonomi. Mereka adalah orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan memilih melangkah ke jalan sunyi demi memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Memberikan honorarium kepada narasumber seperti mereka adalah bentuk apresiasi kita terhadap pengalaman dan pengetahuan dari proses hidup mereka yang tidak ternilai harganya. Apalagi jika mereka telah berkeluarga, honorarium tersebut tentu akan sedikit banyaknya membantu kebutuhan keluarga mereka. Disinilah menurut saya pentingnya dunia kemahasiswaan membenahi sistem kerja kepanitiannya terutama yang berkaitan dengan honorarium narasumber. Komunikasi dengan narasumber secara terbuka sejak awal sebelum kegiatan adalah kunci untuk menghindari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Jika memang dana kegiatannya tidak mencukupi, sampaikan sejak awal kepada narasumber. Bahkan ada beberapa teman-teman saya ketika menjadi narasumber dan disodorkan honorarium mereka juga menolak karena memahami kondisi keuangan kemahasiswaan kampus. Sekali lagi, memberikan honorarium kepada narasumber bukanlah tindakan pragmatis tetapi salah satu bagian dari apresiasi terhadap mereka. Mari mencoba lebih adil dan luas dalam melihat konteks peristiwa yang ada.
Wajar saja kanda Karena masih saja melihat dari sudut pandangnya sendiri tanpa memperhatikan upaya narasumber
BalasHapus