Langsung ke konten utama

Menyoal Honorarium Narasumber Dalam Kegiatan Kemahasiswaan


(Foto: Istimewa)

Tulisan ini sensitif dan bisa jadi akan menimbulkan perdebatan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan uang memang selalu sensitif sebagai topik pembahasan. Beberapa waktu yang lalu, seorang teman membagikan status Saut Situmorang di Facebook dan juga menyebut nama akun saya di Facebook. Saut menulis statusnya seperti ini: Parah banget berurusan dengan mahasiswa Ind*n! Waktu ngundang kita jadi Pembicara di acara kampus mereka, lagak mereka kayak benar-benar intelektual. Begitu tiba waktu pembayaran honor kerja keras kita jadi Pembicara, kita dibikin kayak Pengemis, seolah itu bukan Kewajiban mereka setelah kita melakukan Kewajiban kita! Pantaslah negeri ini dikuasai rezim-rezim busuk dan oligarki, kaum “intelektual”nya aja nyampah gak bertanggungjawab! Status tersebut adalah luapan kejengkelan Saut terhadap panitia kegiatan kemahasiswaan di salah satu kampus. Saut merasa kewajibannya sebagai narasumber sudah dia tunaikan tetapi panitia sepertinya belum menjalankan kewajibannya untuk membayar honor Saut. Saut tentu tidak asal menerima tawaran menjadi narasumber jika tidak ada kesepakatan awal sebelumnya termasuk yang menyangkut dengan honorarium. Saut Situmorang yang dikenal sebagai penyair, editor dan kurator sastra di Indonesia, menurut saya tentu tidak masalah jika dia misalnya menentukan kisaran tarif honornya sebagai narasumber.

Apa yang dialami Saut mengingatkan saya pada suatu peristiwa yang hampir sama beberapa tahun yang lalu ketika masih berstatus mahasiswa. Ketika itu lembaga kemahasiswaan di fakultas saya menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan advokasi. Salah satu narasumbernya adalah teman saya yang merupakan seorang aktivis tani dan lingkungan. Teman saya ini sudah bertahun-tahun lamanya mengabdikan hidupnya berjuang bersama rakyat di salah satu daerah yang sedang terjadi kasus konflik agraria. Teman saya pun berangkat dari daerahnya menuju Makassar dengan menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk membawakan materi sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut. Ironisnya adalah, teman saya yang setelah membawakan materi langsung balik ke daerahnya sama sekali tidak mendapatkan honor. Jangankan honor, uang untuk biaya pengganti transportasi pergi dan pulang ke daerahnya juga tidak ada! Teman saya hanya mendapatkan piagam sertifikat dan sisa-sisa satu rokok bungkus yang diberikan panitia saat membawakan materi. Peristiwa itu membuat saya malu kepada teman sendiri dan marah kepada panitia. Saya yakin peristiwa semacam ini sampai sekarang masih sering terjadi di dunia kemahasiswaan.

Dengan alasan solidaritas dan latar belakang narasumber sebagai aktivis, akademisi dan pegiat literasi yang memilih sikap hidup “jalan sunyi”, apresiasi dalam bentuk honorarium kepada mereka sama sekali tidak ada atau bahkan tidak manusiawi. Kadang masih ada juga saya dengar pandangan keliru dari mereka yang bergelut dalam dunia kemahasiswaan ketika ingin mengundang narasumber. Seperti misalkan: “Cukup rokok saja sama Teh Gelas mu kasi’ itu narasumber karena sederhana ji itu orangnya” atau “Masa aktivis mu kasi uang sebagai narasumber, nah dia berjuang bukan karena uang”. Dalam kasus seperti ini jangan melihatnya dari sudut pandang yang sempit dan terkesan melihat narasumber bersikap pragmatis. Jalan sunyi yang ditempuh oleh narasumber adalah dunia yang tidak memberikan imbalan jabatan dan kemewahan ekonomi. Mereka adalah orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan memilih melangkah ke jalan sunyi demi memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Memberikan honorarium kepada narasumber seperti mereka adalah bentuk apresiasi kita terhadap pengalaman dan pengetahuan dari proses hidup mereka yang tidak ternilai harganya. Apalagi jika mereka telah berkeluarga, honorarium tersebut tentu akan sedikit banyaknya membantu kebutuhan keluarga mereka. Disinilah menurut saya pentingnya dunia kemahasiswaan membenahi sistem kerja kepanitiannya terutama yang berkaitan dengan honorarium narasumber. Komunikasi dengan narasumber secara terbuka sejak awal sebelum kegiatan adalah kunci untuk menghindari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Jika memang dana kegiatannya tidak mencukupi, sampaikan sejak awal kepada narasumber. Bahkan ada beberapa teman-teman saya ketika menjadi narasumber dan disodorkan honorarium mereka juga menolak karena memahami kondisi keuangan kemahasiswaan kampus. Sekali lagi, memberikan honorarium kepada narasumber bukanlah tindakan pragmatis tetapi salah satu bagian dari apresiasi terhadap mereka. Mari mencoba lebih adil dan luas dalam melihat  konteks peristiwa yang ada. 

Komentar

  1. Wajar saja kanda Karena masih saja melihat dari sudut pandangnya sendiri tanpa memperhatikan upaya narasumber

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu

Wabah Virus dan Protes Rakyat (Sebuah Tinjauan Historis)

 (Ilustrasi dukun di Jawa mengobati pes. Sumber foto: historia.id) Melihat ke belakang, jauh sebelum wabah pandemi virus corona atau Covid-19 menjangkiti Indonesia, rakyat pada zaman kolonialisme Belanda telah lebih dulu merasakan hidup dalam ancaman wabah virus. Dua wabah virus tersebut adalah pes dan influenza. Sejarawan Syefri Luwis dalam sebuah diskusi daring mengungkapkan, bahwa wabah pes pertama kali dilaporkan terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tahun 1905. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda tidak peduli dengan kasus tersebut karena yang terjangkit hanya dua orang. Enam tahun berselang, laporan wabah pes kembali muncul di Hindia Belanda, tepatnya di Malang Jawa Timur. Wabah ini diprediksi mulai menyebar di Malang karena faktor beras dari Myanmar. Lagi-lagi pemerintah kolonial Belanda tidak percaya begitu saja dan membantah karena meyakini tikus Myanmar berbeda dengan tikus lokal. Pada kenyataannya, tikus Myanmar mampu beradaptasi dengan lokal sehingga

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama