Langsung ke konten utama

Wabah Virus dan Protes Rakyat (Sebuah Tinjauan Historis)


 (Ilustrasi dukun di Jawa mengobati pes. Sumber foto: historia.id)

Melihat ke belakang, jauh sebelum wabah pandemi virus corona atau Covid-19 menjangkiti Indonesia, rakyat pada zaman kolonialisme Belanda telah lebih dulu merasakan hidup dalam ancaman wabah virus. Dua wabah virus tersebut adalah pes dan influenza. Sejarawan Syefri Luwis dalam sebuah diskusi daring mengungkapkan, bahwa wabah pes pertama kali dilaporkan terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tahun 1905. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda tidak peduli dengan kasus tersebut karena yang terjangkit hanya dua orang. Enam tahun berselang, laporan wabah pes kembali muncul di Hindia Belanda, tepatnya di Malang Jawa Timur. Wabah ini diprediksi mulai menyebar di Malang karena faktor beras dari Myanmar. Lagi-lagi pemerintah kolonial Belanda tidak percaya begitu saja dan membantah karena meyakini tikus Myanmar berbeda dengan tikus lokal. Pada kenyataannya, tikus Myanmar mampu beradaptasi dengan lokal sehingga wabah virus pes pun bisa menyebar. Penyangkalan dari pemerintah kolonial Belanda telah menimbulkan masalah fatal. Wabah virus pes baru diakui keberadaannya pada tahun 1911, padahal kasus ini sudah mulai memasuki Malang pada akhir tahun 1910. Pada tahun 1913, jumlah korban yang terjangkit wabah pes mencapai 11 ribu orang dan melonjak setahun kemudian sekitar 15 ribu orang. Lambannya penanganan pemerintah kolonial Belanda dan kurangnya tenaga medis menurut Syefri Luwis menjadi penyebab meningkatnya jumlah korban wabah virus pes di Hindia Belanda.

Kondisi yang sama juga terjadi ketika wabah virus influenza atau Flu Spanyol menjangkiti Hindia Belanda. Dalam buku “Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda” menyebutkan, bahwa kematian mencapai setengah populasi penduduk hampir di seluruh wilayah Hindia Belanda. Syefri Luwis yang juga menjadi penyusun buku itu mengungkapkan, penyebab tingginya angka kematian virus influenza ada dua. Pertama, pemerintah mengesampingkan informasi soal wabah virus. Kedua, kepentingan ekonomi mendominasi kebijakan. Hal yang sama diungkapkan oleh Sejarawan Ravando dalam tulisannya yang diterbitkan di Kompas pada 21 Maret 1920 berjudul “Belajar Menangani Wabah Global dari Pandemi Flu Spanyol 1918”. Ravando mengungkapkan, pemerintah kolonial Belanda menganggap sepele wabah virus tersebut dan tidak ada upaya pencegahan yang signifikan. Beragam surat kabar di Hindia Belanda ketika itu memiliki peran  dalam mengungkapkan fakta-fakta baru yang terkesan disembunyikan oleh pemerintah. Dalam rapat Volksraad (Dewan Rakyat) menurut Ravando, hanya Dr. Abdul Rivai yang bersuara lantang mengkritik lambatnya respon pemerintah dalam menangani wabah virus influenza tersebut.

Penanganan yang lambat dan ancaman kematian begitu nyata di depan mata, tentu akan menimbulkan keresahan dan amarah di tengah-tengah rakyat bumiputera yang juga telah lama merasakan pedihnya beban penindasan di zaman kolonialisme Belanda. Soe Hok Gie dalam bukunya “Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat  Islam Semarang (1917-1920)” menerangkan, proses ide-ide revolusioner Sarekat Islam di Semarang sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi rakyat di Semarang ketika itu. Salah satunya adalah kebijakan penanganan wabah pes oleh pemerintah Kotapraja Semarang yang dilakukan secara sewenang-wenang. Wabah pes ini menyebar secara luas terutama karena perumahan rakyat di kampung-kampung sangat buruk. Mereka tinggal di dalam gang-gang yang penuh sesak, sempit, dan becek. Kondisi tersebut membuat sinar matahari tidak masuk ke dalam rumah dan menjadi sarang yang nyaman bagi tikus. Gizi masyarakat yang buruk karena tidak adanya jaminan kesehatan dari pemerintah semakin memperburuk kondisi tersebut. Di tahun 1917, angka kematian penduduk Semarang mencapai seribu orang.

Lebih lanjut Gie menjelaskan, untuk menghentikan penyebaran wabah pes, pemerintah Kotapraja Semarang mengambil beberapa tindakan. Perumahan rakyat yang merupakan sarang-sarang tikus itu dibongkar dan dibakar. Dengan waktu 8 hari yang diberikan untuk pindah, rakyat  miskin tentu tidak akan mampu membangun rumah baru dalam waktu yang singkat. Kondisi tersebut membuat rakyat sakit hati dan marah, sehingga aktivis-aktivis Sarekat Islam Semarang  terutama Ketuanya Semaun memprotes keras pemerintah kolonial Belanda karena tidak becus menangani wabah virus pes. Protes Sarekat Islam terhadap pemerintah kolonial Belanda mendapat sambutan hangat dari rakyat miskin di kampung-kampung yang terkena dampak dari wabah virus pes. Gerakan Sarekat Islam di Semarang ketika itu mampu diterima secara luas karena keberhasilannya dalam melakukan propaganda politik yang bersentuhan langsung dengan penderitaan rakyat termasuk dampak buruk wabah virus pes.

Protes terhadap buruknya penanganan wabah pes oleh pemerintah kolonial Belanda juga terjadi di Surakarta seperti yang diutarakan oleh Takashi Shirashi dalam bukunya “Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926”.  Insulinde yang merupakan salah satu organisasi politik dengan keanggotaan sebagian besar orang-orang indo-eropa (Eurasia) berhasil memobilisasi rakyat Surakarta secara luas di tahun 1919 dalam melakukan protes kepada pemerintah terkait penanganan wabah virus pes. Adalah Haji Misbach yang memiliki peran memasukkan orang-orang radikal Sarekat Islam ke dalam Insulinde. Ia sendiri bergabung di Insulinde pada tahun 1918. Saat itu memang keanggotaan ganda Sarekat Islam dan Insulinde bukanlah sesuatu yang aneh. Pada Maret 1918, Insulinde Surakarta membentuk sebuah komite untuk menyelidiki kegelisahan penduduk akibat program perbaikan rumah secara paksa untuk mencegah wabah pes dan berbagai tindakan administratif pemerintah yang berlebihan.

Sebagai tokoh utama komite, Haji Misbach diberikan kewenangan oleh pimpinan Insulinde Surakarta mengadakan rapat umum propaganda melawan tindakan-tindakan pemberantasan wabah pes dan beban keuangan akibat kewajiban perbaikan rumah. Haji Misbach pun segera mengorganisir Insulinde Kartasura yang diketuai oleh Atmakertanto pegawai pegadaian dan Haji Bakri, pedagang batik, sebagai sekretarisnya. Kampanye Haji Misbach melawan kebijakan perbaikan rumah ternyata menuai hasil. Sesudah mengadakan rapat umum, penduduk Kartasura benar-benar berhenti mengembalikan pinjaman pemerintah untuk perbaikan secara paksa. Akibat aksi protes tersebut, Asisten Residen Surakarta memerintahkan pimpinan Insulinde Surakarta yaitu Galestian dan Soetadi untuk menghentikan propaganda Haji Misbach dan mengadakan rapat umum untuk meminta maaf kepada pemerintah.

Tentu kita bisa melihat masa depan dengan kacamata bijak masa lalu, bahwa protes rakyat terjadi karena adanya situasi kritis dari masalah penanganan wabah yang dilakukan oleh pemerintah. Bukan hal yang baru jika rakyat melakukan protes terhadap penanganan pandemi virus corona, meskipun kondisinya sekarang lebih “dinamis” dalam hal politik kekuasaan. Hanya ada dua pilihan, apakah pemerintah mau belajar dari penanganan wabah virus di masa lalu atau tetap mewarisi “karakter kolonial” dengan melakukan pembungkaman terhadap suara-suara kritis rakyat yang merasakan langsung dampak dari pandemi virus corona? Tetapi saya pesimis dan optimis. Pesimisnya, sebagai sebuah bangsa yang besar kita masih memiliki pekerjaan rumah untuk mau terbuka dan berdiskusi dengan masa lalu, apalagi mau belajar dengan masa lalu. Optimisnya, saya melihat pemerintah tetap optimis untuk memilih “jalan damai anti kekerasan” terhadap pandemi virus corona dengan mempersiapkan tatanan kehidupan baru yaitu New Normal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama