Langsung ke konten utama

Bencana Virus Covid-19 dan Bagaimana Kita Menyikapinya






(sumber foto: twitter @MrBatch_)

Sejak pertengahan Februari pemerintah pusat telah mengumumkan kepada setiap warga untuk untuk tidak keluar rumah demi menghindari penyebaran virus Covid-19. Kebijakan ini diambil setelah Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan salah satu kampus ternama di Indonesia mempublikasikan hasil risetnya terkait potensi besar masuknya virus Covid-19 ke Indonesia dengan frekuensi penyebaran virus yang telah masuk ke beberapa negara di Asia Tenggara. Pemerintah juga telah menyiapkan alat tes medis khusus untuk mendeteksi virus Covid-19 dan memastikan pemeriksaan secara gratis kepada warga tidak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya. Saya pun telah melaksanakan tes medis di lingkungan kelurahan saya tinggal dan hasilnya dinyatakan negatif terkena virus Covid-19. Setiap kelurahan dan desa memang disediakan sekirar tiga sampai lima tempat pemeriksaan agar warga bisa secepatnya mendapatkan penanganan medis. Agar warga tidak terbebani selama tinggal di rumah masing-masing maka pemerintah memastikan pasokan makanan bergizi secara gratis setiap dua kali sehari dan tagihan listrik dan air juga digratiskan. Sebagai pengajar saya pun tetap bekerja dirumah seperti biasa dengan menggunakan metode kelas online karena pemerintah juga telah menggatiskan akses internet. Situasi saat ini memang sangat sulit tetapi akan lebih sulit lagi jika kita sudah terjangkit virus Covid-19. Pemerintah juga telah maksimal bekerja keras untuk tetap memastikan keselamatan warga dan tetap berupaya memenuhi hak-hak dasar warga selama ancaman virus Covid-19 ini terjadi. Semoga dunia segera pulih kembali. (Fiksi Negara yang baik)

Realitanya sudah kurang lebih lima hari lamanya saya menerapkan “social distancing” atau membatasi diri dari keramaian dan memilih untuk beraktivitas di rumah. Saya dan istri melakukan hal tersebut untuk menghindari kemungkinan terburuk terjangkit virus Covid-19. Karena istri saya hamil dan akan melakukan cek rutin kehamilan di rumah sakit sore kemarin, akhirnya pagi itu juga saya memutuskan keluar rumah mencari masker dan sanitizer untuk digunakan pada saat ke rumah sakit. Seperti yang ramai diberitakan oleh media saya pun kesulitan mendapatkan masker dan sanitizer setelah berkeliling ke setiap apotek dan mini market. Saya hanya mendapatkan satu botol kecil sanitizer dengan ukuran 70 ml yang harganya dua kali lipat dibandingkan harga normal sebelumnya. Saya sama sekali tidak berhasil mendapatkan masker karena menurut salah satu pegawai apoteker yang saya temui, masker menjadi langka karena ada oknum-oknum tertentu yang sengaja menimbun masker. Dalam perjalanan pulang ke rumah saya menyempatkan untuk singgah membeli telur ayam di pasar untuk kebutuhan dapur. Harga satu rak telur ayam ternyata melonjak drastis dari Rp 39 ribu naik menjadi 50 ribu. Kebutuhan bahan pokok yang lainnya juga meningkat sekitar 30 persen sampai 50 persen karena dampak dari penyebaran virus CoVid-19. Nilai tukar rupiah terhadap dollar pun telah menyentuh angka 16 ribu! Terburuk sepanjang sejarah 22 tahun terakhir.

Pengalaman yang saya ceritakan tentunya kalian juga hadapi atau bahkan lebih buruk dari yang saya bayangkan. Jumlah korban yang positif dan meninggal akibat virus Covid-19 setiap harinya terus meningkat dan negara kita merupakan salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia. Kita patut khawatir jika melihat begitu lambannya pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani kasus virus Covid-19. Bahkan sejak virus ini mulai menyebar di beberapa negara-negara Asia, pemerintah kita justru masih memikirkan bagaimana cara meningkatkan daya saing pariwisata dengan mempermudah akses wisatawan asing masuk ke Indonesia (lihat cuitan twitter Presiden Jokowi tangal 17 Februari 2020). Kita tidak melihat bagaimana upaya pencegahan dini yang seharusnya dilakukan pemerintah sebelum virus Covid-19 masuk ke Indonesia tetapi faktanya beberapa pejabat publik setingkat menteri dengan santai dan penuh candaan menanggapi ancaman virus ini.

Selama masa darurat nasional himbauan pemerintah untuk tetap di rumah saja menurut saya hanya efektif bagi masyarakat yang berada di kelas menengah ke atas. Bagi mayoritas masyarakat menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal seperti petani, buruh dan pedagang kecil akan semakin mengalami  beban penderitaan jika mereka tidak bekerja dalam satu hari saja. Jika tinggal di rumah, apakah pemerintah sudah menjamin hak-hak kebutuhan hidup harian mereka? Belum lagi jika kita mempersoalkan jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat sementara kita sudah tahu bagaimana dokter dan tenaga perawat juga mengalami keterbatasan perlengkapan medis dalam menangani para korban virus Covid-19. Jika melihat bagaimana manajemen penanggulan bencana virus Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah, kita tidak bisa berharap banyak. Setiap hari justru kita hanya mendengarkan optimisme semu dari pejabat pemerintah tanpa bisa menawarkan solusi cepat dan tepat dalam menangani bencana virus Covid-19.

Optimisme yang lahir dari komunitas masyarakat!

Jujur saya pesimis melihat lambannya pemerintah menangani bencana virus Covid-19 tetapi sebaliknya saya optimis dan melihat ada harapan yang justru lahir dari inisiatif-inisiatif komunitas masyarakat. Jika kita jauh melihat ke belakang sebagai sebuah bangsa, masyarakat kita sudah begitu banyak melewati fase terburuk dalam kehidupan mulai dari penjajahan, bencana alam, perang dan rentetan konflik sosial. Tentu kita masih ingat bagaimana begitu kuatnya solidaritas kemanusiaan masyarakat Indonesia pada saat terjadi bencana gempa dan tsunami di Palu Sulawesi Tengah pada tahun 2018. Sebagai salah satu relawan komunitas waktu itu, saya melihat begitu banyaknya jenis bantuan yang mengalir tanpa henti di setiap posko-posko pengungsian. Tidak hanya sekedar memberi bantuan, masyarakat yang datang langsung di tempat pengungsian memberikan semangat moril kepada pengungsi bahkan sebagian dari mereka ada yang bersedia menjadi orang tua angkat untuk anak-anak yang telah kehilangan orang tua.

Hal yang sama juga terjadi saat ini, bantuan kemanusiaan untuk penanggulan bencana virus Covid-19 kembali lahir dari inisiatif-inisiatif masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Mulai dari aksi menggalang dana untuk berbagi makanan sehat, masker dan sanitizer ke masyarakat hingga bantuan perlindungan diri untuk tim medis. Di Kota Makassar kita melihat anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas, organisasi dan institusi kampus terlibat aktif melakukan aksi nyata dengan membuat sanitizer dan melakukan penyemprotan desinfektan di kantor-kantor pemerintah, kampus dan tempat ibadah. Ini semua dilakukan dengan tulus dan penuh semangat kerelawanan meskipun mereka juga punya potensi untuk terjangkit virus Covid-19. Kita pun juga harus memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh dokter dan tenaga perawat di seluruh Indonesia yang merupakan garda terdepan dalam menghadapi virus Covid-19. Dengan kondisi peralatan dan perlindungan medis yang terbatas mereka tetap melaksanakan tugas sebaik-baiknya.

Bagi yang tetap memilih di rumah selama social distancing, kita juga tetap bisa berkontribusi setidaknya menjadi relawan untuk keluarga yang kita cintai dan bijaksana dalam menyebarkan berbagi informasi di media sosial yang berkaitan dengan virus Covid-19. Di media sosial tidak usah membuang energi kita untuk berdebat dengan kelompok-kelompok yang mengaku paling beragama tetapi tidak menggunakan akal sehatnya. Energi kita bisa diarahkan untuk mengkritik pemerintah karena tanggung jawab sepenuhnya tetap berada di tangan pemerintah dalam penanganan bencana Covid-19. Tidak hanya itu, kritik kepada pemerintah juga adalah upaya kita bersama untuk menangkal ulah buzzer-buzzer istana yang dibayar untuk terus memberikan dukungan positif meskipun kebijakan pemerintah ternyata keliru terutama dalam penanganan bencana Covid-19. Saya yakin semangat kolektif atas dasar penderitaan yang sama merupakan modal bagi masyarakat untuk tetap optimis melewati bencana virus Covid-19. Disetiap luka selalu ada kekuatan tetapi pemerintah kita yang tidak kuat.




Komentar

  1. Dan akan terbukti bahwa pemimpin yang sesungguhnya adalah kemanusiaan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama...