Bahas Pemilu, demokrasi dan politik itu berat yah, cukup politisi, akademisi,
mahasiswa, dan aktivis saja. Rakyat tidak akan kuat, karena rakyat hanyalah
objek yang pasif atau pelengkap dalam sebuah negara demokrasi yang masih didominasi oleh kuasa modal, kekuatan elit
oligarki yang dilakukan dengan praktik tranksaksional. Tulisan ini mencoba
untuk mengkritisi tulisan sebelumnya dari Sofyan Thamrin berjudul “Mahasiswa
dan Kosongnya Nalar Demokrasi” yang dipublikasikan KalaLiterasi pada tanggal 17
Maret 2019 ( http://kalaliterasi.com/mahasiswa-dan-kosongnya-nalar-demokrasi/)
Pernyataan mengenai rakyat masih gagap, awam dan
mentalitasnya rentan dalam berbagai penyimpangan politik adalah pernyataan yang
harus ditinjau kembali, apa dasar konseptual dan faktualnya dari tulisan Sofyan
Thamrin. Jika tidak, kita justru akan
menggeneralisasikan bahwa kesadaran politik rakyat seperti itulah keadaannya. Bahwa
memang betul adanya jika masih ada rakyat yang menggantungkan nasibnya melalui
konstetasi pemilu dengan ilusi-ilusi dan hoax
yang disebarkan oleh banyaknya politisi demi mendapatkan suara rakyat.
Tetapi, situasi tersebut terjadi juga tidak bisa
terlepas dari praktik politik kotor yang dijalankan oleh elit oligarki melalui partai
politik borjuasi yang memiliki kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan
ekonomi dan politiknya. Mungkin Sofyan Thamrin paham bahwa di negara berkembang
seperti Indonesia sistem politik dan demokrasi hanyalah kedok demi memuluskan
akumulasi kapital secara massif melalui skema penguasaan sumber daya alam,
tenaga kerja murah dan pasar. Pemilu di negeri ini bukanlah sesuatu yang sakral
dan bisa mengubah sendi-sendi kehidupan rakyat menjadi lebih baik kedepannya.
Ada yang menarik dari tulisan
Roanne van Voorst seorang antropolog dari Belanda dalam bukunya Tempat Terbaik di Dunia yang mengulas
tentang salah satu kampung kumuh dan miskin di Kota Jakarta. Kemiskinan membuat
rakyat tidak berputus asa untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan kondisi
yang selalu berubah-ubah setiap saat. Solidaritas dan kreatifitas menjadi
kekuatan bagi rakyat miskin untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi. Di
pesisir Makassar, tepatnya di salah satu Kampung Nelayan Tallo yang kumuh dan
miskin begitu beragam cara rakyat melihat konstestasi pemilu 2019. Beberapa dari
mereka bahkan justu tidak melihat pemilu sebagai solusi jangka panjang untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sebaliknya momen pemilu menjadi salah
satu cara mereka untuk mendapatkan uang dan kebutuhan sembako yang didapatkan
langsung dari calon-calon legislatif. Apakah ini pragmatis? Sebaliknya ini
adalah salah strategi politik rakyat untuk bertahan hidup dari kondisi
kemiskinan dan ancaman penggusuran dengan memanfaatkan momen pemilu.
Soal apakah mereka akan
memberikan suaranya kepada siapa, masih bisa saja berubah menjelang detik-detik
pemilihan. Kesadaran politik rakyat juga sudah pasti berbeda pada situasi
mereka diperhadapkan langsung pada konflik sumber daya alam. Data dari
Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sedikitnya 364
orang menjadi korban dari konflik agraria di Indonesia sepanjang 2018. Dari
jumlah tersebut, sepuluh orang petani dan pejuang agraria telah terbunuh dan
sebannyak 216 dikriminalisasi hanya karena mempertahankan hak atas tanah dan
sumber daya alam tempat mereka bertahan hidup.
Tidak usah jauh-jauh kita
melihat contoh kasus, di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Bulukumba
konflik lahan yang melibatkan petani dan masyarakat adat Kajang dengan PT.
LONSUM telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Bagaimana rakyat yang telah
terbangun kesadaran politiknya justru melihat konstetasi pemilu hanyalah
persoalan taktik semata dalam memperkuat posisi gerakan sosialnya, apakah akan
menggunakan hak suaranya atau tidak. Secara politik mereka tentunya sadar
pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang terpilih sejak pemilu-pemilu sebelumnya
tidak bisa berbuat banyak dalam mengembalilkan status tanah adat mereka. Berbicara
tentang politik tidaklah tunggal atau identik dengan kekuasaan semata tetapi
juga menyentuh beragam aspek yang terjadi di tengah-tengah rakyat.
Bagaimana dengan Mahasiswa?
Pernyataan selanjutnya dari
tulisan Sofyan Thamrin, terkait bagaimana mahasiswa mesti hadir dalam menambal
kegagapan politik masyarakat awam juga merupakan pernyataan yang menarik untuk
diperdebatkan. Pernyataan tersebut seolah memposisikan mahasiswa sebagai aktor
utama yang harus hadir memberikan solusi dalam memperbaiki mental berdemokrasi rakyat masih
berada pada usia anak-anak. Mitos heroisme
dan romantisme masa lalu gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974, dan 1998
sepertinya menjadi dasar Sofyan Thamrin mengeluarkan pernyataan tersebut. Tanpa
menafikan peran gerakan mahasiswa Indonesia dalam perubahan politik dan sosial
yang terjadi di Indonesia, Ernest Mandel berpendapat bahwa kesatuan teori dan
praktek dalam gerakan mahasiswa dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama
jika mahasiswa meleburkan diri dalam gerakan progresif di tengah-tengah rakyat
atau terintegrasi ke dalam gerakan buruh, tani dan nelayan.
Meskipun mahasiwa memiliki waktu
luang untuk mendapatkan produksi pengetahuan di kampus dan akses informasi
terkait perkembangan situasi politik yang terjadi bukan berarti mereka juga
memiliki kesadaran politik yang sama untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan
menjaga rakyat dari praktek pemilu yang transaksional. Kebijakan sistem
pendidikan Indonesia terutama sektor pendidikan tinggi yang orientasinya
mengarah pada liberalisasi, komersialisasi dan privatisasi untuk kepentingan
globalisasi ekonomi juga menjadi penghambat bagi mahasiswa dalam membangun
nalar-nalar kritis dan mengembangkan diri melalui ruang-ruang ilmiah di kampus.
Bahkan untuk konstetasi pemilu, ada juga mahasiswa yang dulunya pernah terlibat
dalam dunia gerakan mahasiswa justru menjadi
bagian dalam skema politik tranksaksional itu sendiri. Istilah Gramscy,
intelektual tradisional yang tidak sulit berkompromi dengan penguasa atau main
aman meskipun harus mengkhianati cita-citanya sendiri. Sikap kritis progresif
mahasiswa justru akan lahir pada situasi dimana mahasiswa belajar di tengah-tengah
rakyat yang merasakan ketidakadilan dari kebijakan yang lahir dari penguasa.
Sebagai penutup tulisan ini, sekali lagi menurut Gramscy; Seorang intelektual bukan perantara dari teori-teori abstrak
untuk dicangkokkan pada lapisan massa awam, tapi seorang yang mendasarkan
pengetahuan dari fakta-fakta sosial yang ada di lingkungannya. Semoga kita
tidak menyimpulkan secara dikotomis atau hitam-putih semata melihat posisi rakyat
dan mahasiswa dalam konstetasi pemilu 2019.
Komentar
Posting Komentar