Hari ini Pram berulang tahun! 06 Februari 1925 lelaki asal Blora, Jawa Tengah itu lahir. Lelaki keras kepala yang seluruh kemerdekaan hidupnya dirampas oleh penguasa, kecuali isi kepalanya yang dituangkan melalui karya-karya tulisan adalah kebebasan sejati manusia melihat penderitaan manusia atas manusia. Seperti katanya sendiri dalam karya Roman Jejak Langkah (1985); “masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. Penjara dan penyiksaan dari rezim penguasa yang berbeda tak membuatnya bungkam. Penjara bagi mereka yang teguh pada keyakinan dan keberpihakan kepada kemanusiaan adalah kepanikan bagi rezim penguasa. Roman Tetralogi Pulau Buru adalah karya terbaiknya yang lahir dari segala penderitaan dan keterbatasannya di penjara. Penjara yang sesungguhnya bagi Pram adalah kemalasan dan ketidakpedulian.
“Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata
hati” adalah kalimat sederhana yang disampaikan Pram lewat Roman Bumi Manusia. Kalimat
tersebut bagi saya adalah teguran, kritikan dan cara Pram untuk menyampaikan
pesannya kepada mereka yang mengaku terpelajar. Ia, termasuk saya. Umumnya ukuran
terpelajar hanya dilihat dari tempat dimana kita mengenyam pendidikan formal untuk
mendapatkan gelar akademik lalu mendapatkan penghormatan dalam status sosial
sistem masyarakat. Jika hidup saya hanya untuk mendapatkan nama baik,
sesungguhnya saya melihat makna kebaikan begitu sempit.
__________________________________________
Malam tadi, kami bertiga kembali bertemu di
salah satu café yang bisa dikatakan sudah menjadi tempat kami bertemu,
bercerita banyak hal dan bertukar pikiran. Diantara kami bertiga, saya adalah
yang paling muda walaupun tetap sebagai salah seorang yang tua secara usia di
komunitas tempat kami belajar mengabdi. Kami bertiga sebenarnya menolak dikatakan
tua, karena tua bukan perihal usia tetapi tua hanya untuk mereka yang memilih
main aman dan mengikuti arus. Tua hanya untuk mereka yang lupa menjadi diri
sendiri! Apakah ini sekedar pembelaan? Bisa jadi. Karena dianggap tua, pertanyaan tentang kapan ini,
kapan itu seolah menjadi santapan sehari-hari kami bertiga.
Percakapan-percakapan yang menarik ketika
kami bertemu adalah tentang bagaimana menentukan pilihan dengan segala resiko
dari pengaruh pertanyaan tentang kapan.
Di atas langit, bisa jadi Pram sedang melihat dan menertawakan isi hati kami
yang meragu dan isi kepala kami yang mencoba membenarkan kelemahan kami
menghadapi kenyataan. Hei anak muda yang menolak tua! Kamu melihat dunia yang
sederhana ini dengan tafsir yang begitu rumit!". Kira-kira seperti itulah
pernyataan singkat Pram memotong percakapan kami dan setelah itu pergi
seketika.
“Jika saya memilih ini, saya tidak akan
begini lagi tetapi jika saya tetap begini, resikonya seperti ini”, kata Kak
Rifal mencoba memberi gambaran kepada saya dan Kak Mardi.
Kak Mardi juga memberi penjelasan dan
beberapa pertimbangan yang menurut saya bijaksana sebelum Kak Rifal menetapkan
pilihannya. Saya dan Kak Mardi bersepakat apapun pilihan yang diambil oleh Kak
Rifal, kami berdua tentu sangat menghargai dan mendukung keputusannya.
“Malam ini saya akan putuskan pilihan saya”,
tegas Kak Rifal.
Dalam perjalanan pulang bersama, saya mencoba
memberi sedikit semangat Kak Rifal.
“Kak, saya ini sudah banyak merasakan
kekalahan dan ketidakpastian dalam hidup. Itu lebih menyedihkan! Tapi bukan alasan
untuk saya menyerah.”
_____________________________________________
Pukul 02.13 pagi, pesan beruntun WhatsApp Kak Rifal masuk.
“Saya tidak ikut ini.”
“Saya harus lebih sabar lagi”.
Membaca pesannya, saya tersenyum bahagia.
Pram pun ikut tersenyum dan berkata.
“Dia terpelajar, karena dia bersetia pada
kata hatinya.”
Sekali lagi, selamat ulang tahun Pram! Hari
ini saya merayakan kelahiranmu dengan menjadi saksi dari sosok sahabat yang memilih
tetap teguh pada pendiriannya.
Komentar
Posting Komentar