Bangunlah tempat ibadah yang megah, maka Tuhan akan menerima setiap doa-doamu. Mungkin saja itu yang ada dalam benak
pikiran para penggagas mega proyek Center Poin of Indonesia (CPI) dengan
membangun Masjid 99 Kubah di area reklamasi seluas kurang lebih 150 hektar yang
terletak di depan Pantai Losari Kota Makassar. Masjid yang didesain langsung
oleh Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat saat ini, kelak akan menjadi masjid
termegah di Benua Asia dan ikon wisata religi baru di Sulawesi Selatan. Lokasinya
begitu dekat dengan Masjid Terapung Amirul Mukminin Pantai Losari, masjid yang
juga merupakan ikon Kota Makassar. Patutlah berbangga penghuni kota ini, dua
masjid megah tersebut menjadi tempat beribadah yang nyaman dan menawarkan
keindahan panorama Pantai Losari.
Seakan ingin menegaskan bahwa Jika kau
ingin khuysuk bertemu Tuhan, temuilah ditempat-ditempat yang nyaman dan indah.
Masjid
99 Kubah dibangun dibekas tanah tumbuh, dulunya merupakan tempat bermukimnya
nelayan tradisional yang disebut dengan Kampung Gusung Tanjung Delta. Dengan
alasan bermukim di lahan negara, akhirnya pada Maret tahun 2014 puluhan
keluarga nelayan yang tinggal di Gusung Tanjung Delta rumah-rumah mereka dibongkar
secara paksa dan dibakar oleh pemerintah untuk pembangunan mega proyek CPI .
Kampung yang mereka tinggali sejak tahun 1967 juga merupakan habitat bagi
ekosistem bakau dan mangrove yang telah memberikan manfaat ekonomis dan
lingkungan bagi masyarakat nelayan
tradisional di Gusung Tanjung Delta.
(Masjid Kubah 99 Menara di area proyek reklamasi CPI. Photo by: Ridwan Alimuddin) |
Tentu
menimbulkan tanya, apakah ada dalil dalam Islam yang membolehkan membangun
masjid dengan terlebih dahulu menggusur, merusak lingkungan dan menghilangkan
mata pencaharian nelayan tradisional? Ataukah masjid tersebut dibangun sebagai
strategi meredam amarah masyarakat pesisir menolak mega proyek reklamasi CPI
yang ratusan hektarnya akan dikelola
oleh investor untuk membangun kawasan perumahan elit, hotel-hotel bintang lima
dan kawasan pusat perbelanjaan berlabel internasional? Sehingga jika kemudian
terjadi penolakan proyek reklamasi, maka seolah-olah dibangunlah kesan bahwa
mereka yang menolak reklamasi juga menolak pembangunan masjid dan terjadilah
penggiringan isu agama yang berpotensi melahirkan konflik horizontal. Di negeri
ini, menjadikan isu agama untuk kepentingan elit kekuasaan dan modal adalah
senjata yang ampuh. Sejarah telah
membuktikan itu.
Semua
manusia yang memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan tentunya tidak
akan menolak pembangunan tempat-tempat beribadah, begitu pun dengan pembangunan
Masjid 99 Kubah yang menimbulkan polemik karena berada di kawasan mega proyek
CPI. Sekali lagi, bukan pembangunan masjidnya yang menuai penolakan tetapi
segala proses yang menggusur ruang-ruang penghidupan masyarakat pesisir dan
menimbun laut untuk membangun gedung-gedung komoditas pencakar langit demi
sebuah klaim kota dunia yang sampai
detik ini terus mendapatkan penolakan dari masyarakat yang terkena dampak
pembangunan.
Akal
sehat kita seolah digiring bahwa reklamasi dengan menggusur nelayan dan
membunuh mata pencahariannya adalah tindakan yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai ajaran agama, asalkan dalam proyek tersebut ada tempat ibadah megah
yang juga terbangun. Saya tetiba teringat dengan tulisan cerpen Almarhum Cak Rusdi
yang terbit di salah satu media online pada tahun 2016. Cerpen tersebut
bercerita tentang kehidupan beragama dalam satu kampung. Demi sebuah kebanggaan
mempunyai masjid yang megah dan besar masyarakat berbondong-bondong menggalang
sumbangan tetapi dilain sisi tidak peduli dengan salah satu masyarakat di
kampung tersebut yang hidupnya dilanda kemiskinan, jatuh sakit lalu meninggal.
Cak
Dhalom salah satu tokoh utama dalam cerpen tersebut yang sebagian besar
masyarakat kampung menganggapnya tidak waras mengatakan; “apa sesungguhnya arti masjid bagi kita? Kita lebih sibuk membangun
masjid, berdoa di masjid, lalu merasa bertemu dengan Tuhan ketimbang sibuk
mengunjungi orang miskin yang membutuhkan pertolongan. Bukankah Tuhan selalu
berada di sisi orang-orang yang kelaparan, miskin dan sakit! Kenapa kita tidak
menjumpai Tuhan pada orang-orang itu?”
Kembali ke Masjid?
Masjid
tidak hanya sekadar tempat yang suci dan mulia bagi manusia untuk mendekatkan
diri secara khusyuk dengan Tuhannya tetapi pada zaman Nabi Muhammad S.A.W,
masjid juga merupakan ruang sosial yang berperan mewadahi berbagai hal yang
berkaitan dengan persoalan keumatan seperti pendidikan, ekonomi, perkara hukum
dan bahkan sebagai pusat perjuangan umat yang kala itu sedang diperangi oleh
kaum yang anti terhadap agama Islam. Di Indonesia, Sarekat Islam sebagai salah
satu organisasi pergerakan nasional menjadikan masjid-masjid sebagai salah satu
ruang konsolidasi untuk menumbuhkan
semangat nasionalisme dan memperkuat persatuan umat dalam melawan penjajahan
pemerintah kolonial Belanda.
Dalam
konteks pendidikan, kita tidak bisa melupakan zaman Pemerintahan Bani Umayyah dengan
menjadikan Cordoba sebagai ibukota Spanyol. Le Mesquita atau Masjid Agung
Cordoba yang dibangun oleh Khalifah Abdurraham III sekitar tahun 786 Masehi
menyediakan fasilitas perpustakaan raksasa dengan beragam koleksi buku agama dan ilmu
pengetahuan. Tidak hanya itu, Masjid Agung Cordoba juga memberikan kesempatan
kepada anak-anak fakir miskin untuk belajar di sekolah yang ada di sekitar
masjid. Tidak heran jika Kota Cordoba mendapat gelar pusat pengetahuan yang melahirkan
banyak para ulama, para pemikir, dan para ilmuan yang telah berkontribusi dalam
memajukan peradaban Islam.
Tanda
tanya besar jika melihat bagaimana peran masjid yang ada di Indonesia saat ini.
Di kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat masjid-masjid berubah menjadi ruang
yang cenderung intoleran dan ruang untuk memobilisasi kebencian pada kelompok
tertentu. Mendekati pemilihan umum tahun 2019 semakin nampak nyata kolaborasi elit
politik dan modal, melalui suara-suara “ulama” dengan
menjadikan masjid sebagai arena propaganda politik pragmatisme untuk
mendapatkan kursi kekuasaan. Bukan hanya
spanduk, baliho dan stiker para politikus yang bertebaran di
masjid-masjid tetapi kita bisa melihat dan mendengarkan ceramah-ceramah para “ulama” dengan suara yang lantang
menjanjikan surga bagi umat dengan memilih calon pemimpin yang dianggapnya
membela Islam, sebaliknya mengkafirkan mereka
yang memilih calon pemimpin yang diklaimnya kafir pula. Bukankah hanya Tuhan
yang memiliki otoritas tunggal untuk menilai apakah seseorang itu termasuk
dalam golongan kafir atau tidak?
Masjid
yang berfungsi sebagai ruang politik adalah hal yang sering terjadi tetapi politisasi
masjid untuk kepentingan kekuasaan elit
politisi dan pemodal justru akan semakin menjauhkan kita dalam memahami nilai-nilai
egalitarian Islam pada konteks lebih luas melihat model pembangunan yang semakin eksploitatif terhadap alam dan
manusia. Setelah musim Pemilu usai, apakah kita akan kembali melihat masjid
sebagai rumah Tuhan yang mengayomi
manusia? Silakan tafsir sendiri.
Komentar
Posting Komentar