Langsung ke konten utama

Alam, Manusia dan Bagaimana Negara?

Dua bulan terakhir saya mulai kembali bepergian di berbagai tempat yang masih memiliki potensi kekayaan alam dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya. Beberapa tempat, seperti di Komunitas Masyarakat Adat Kajang Bulukumba, masyarakat pesisir Galesong Raya Takalar, masyarakat dataran tinggi Pegunungan Karaeng Lompo Gowa dan penghujung tahun ini saya masih berada di Kabupaten Enrekang bertemu dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan.

Saya berkunjung dan bertemu masyarakat bukan untuk menggurui mereka, hanya karena saya mengenyam pendidikan tinggi bukan berarti berarti tahu segala hal dan berlagak seolah-olah manusia berpendidikan yang datang membawa perubahan. Di tempat mereka manusia yang memiliki gelar dari capaian atas pendidikan formal justru kebanyakan menjadi aktor dari rusaknya hubungan harmonis antara mereka dengan alam. Sebaliknya saya datang memposisikan diri untuk belajar dan menggali banyak informasi perihal makna dibalik relasi manusia dengan alam yang melahirkan nilai-nilai kearifan dan kepercayaan bagaimana seharusnya kita bersikap pada alam.

“Jagai lino lolling bonena, kammaya tompa langika, rupa tauwa siagang boronga” (peliharalah dunia beserta isinya demikian pula langit, manusia dan hutan), begitu pesan Ammatoa yang disampaikan dengan tenang dan penuh kharisma ketika berdiskusi dengannya perihal Komunitas Masyarakat Adat Kajang memaknai bencana yang belakangan ini terjadi di Indonesia. Petuah Ammatoa Kajang ini selaras dengan apa yang diungkap oleh  Saraswati Dewi dalam buku yang ditulisnya berjudul “Ekofenomenologi” (2015) dengan menekankan pada tanggungjawab manusia dalam memahami alam bukan hanya sekadar objek yang bekerja  untuk memenuhi hasrat keinginan tetapi manusia dan alam adalah satu kesatuan yang seharusnya saling berdampingan secara damai. Hingga saat ini sejak September 2018 ratusan Komunitas Masyarakat Adat Kajang masih melakukan pendudukan dengan mendirikan tenda di Kawasan Bukit Madu Desa Tamatto, Kecamatan Ujungloe, Kabupaten Bulukumba sebagai bentuk protes mereka terhadap PT. London Sumatra (LONSUM) yang telah menyerobot tanah ulayat Komunitas Masyarakat Adat Kajang.


(Perempuan Komunitas Masyarakat Adat Kajang sedang menenun kain. Dok: Pribadi)

Alam itu adalah kita, bukan sahabat, dan tentunya bukan musuh. Cara berpikir yang memisahkan alam dan manusia pada konteks objek dan subjek dengan menganggap manusia sebagai spesies yang berakal, makhluk istimewa (super being) sehingga punya kuasa atas alam telah mengantarkan manusia pada sejarah eksploitasi atas alam. Sebagai salah satu contoh kasus adalah proyek reklamasi Kota Makassar seluas kurang lebih 4.500 hektar yang dibangga-banggakan oleh pemerintah sebagai perwujudan  kota modern kelas dunia nyatanya telah merusak ekosistem pesisir dan laut yang merupakan sumber kehidupan nelayan.

Aktivitas tambang pasir laut untuk kepentingan reklamasi telah merusak keseimbangan rantai makanan di laut Galesong Raya Takalar. Air laut menjadi keruh, mengakibatkan sinar matahari tidak dapat menembus ke dalam air sehingga spesies fitoplankton yang menyediakan fungsi ekologis penting di lautan sebagai produsen utama rantai makanan terganggu dan tentu akan berdampak pada konsumen tingkat lanjut pada biota laut lainnya seperti ikan, kerang, dan cumi-cumi yang menjadi komsumsi dengan nilai protein tinggi bagi manusia (Riset Aksi WALHI Sulsel, 2018). Ikan bakar yang kita santap di meja makan tidak bisa kita lepaskan dari peran penting spesies fitoplankton!


(Masyarakat Pesisir Galesong Raya melakukan aksi demonstrasi menolak tambang pasir laut. Dok: Pribadi)

Semua yang berakal sehat pun pasti tahu jika laut ditimbun dan ditambang maka wilayah tangkap nelayan pun akan hilang yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Dampak sosio-ekologis dari aktivitas tambang pasir laut yang merusak lingkungan dan merugikan ekonomi masyarakat menjadi alasan hingga saat ini masyarakat pesisir Galesong Raya terkhususnya nelayan tradisional berjuang menolak disahkannya Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Selatan yang mengakomodir kepentingan reklamasi dan tambang pasir laut untuk kepentingan investor rakus. Alam harus menang!

Masyarakat Lokal Butuh Negara?

Berlanjut di dataran tinggi Pegunungan Karaeng Lompo Kabupaten Gowa, disela-sela sesi istirahat dalam pelatihan manajemen koperasi kerakyatan akhir November silam, Pak Nasir salah satu petani yang juga merupakan peserta pelatihan menceritakan begitu susahnya masyarakat  untuk mengelola lahan yang sejak turun temurun sudah dikelola oleh nenek moyang mereka sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan milik negara. “Jika kami masuk hutan untuk mengelola lahan resiko terbesarnya adalah ditangkap oleh polisi kehutanan dan dituduh mau merusak hutan padahal kami hanya mau mengelola dan memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” ungkap Pak Nasir.

Sejak tahun 2016 sampai tahun 2018 terdapat 37 kasus kriminalisasi atas petani dan pejuang agraria di sejumlah daerah antara lain di Kabupaten Takalar, Gowa dan Soppeng (Siaran Pers Hari Tani Nasionbal 2018 Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Agraria). Bukan cerita baru jika ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia telah membuat masyarakat khususnya petani hidup dibawah bayang-bayang kemiskinan. Negara sendiri mengakui bahwa sekitar 36,7 persen atau 10,2 juta dari 27,8 juta jumlah penduduk miskin tahun 2017 tinggal di sekitar hutan padahal potensi ekonomi hutan kita sangat kaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Di Kabupaten Enrekang, tepatnya di Kampung Leoren, Kecamatan Enrekang, dalam sebuah diskusi kampung bersama puluhan petani hutan beberapa hari yang lalu menjelaskan begitu banyak hal tentang relasi masyarakat dengan Hutan. Mulai dari sejarah pemanfaatan dan pengelolahan lahan  di hutan, potensi hutan dan tradisi atau nilai-nilai luhur masyarakat dalam menjaga hutan. “Dulu hutan ini adalah kampung leluhur kami, di dalamnya ada pasar bernama Pasar Kaluppang, ada kebun masyarakat, ada kuburan tua dan bekas lokasi masjid tapi sekitar tahun 1980an datang pihak dari kehutanan yang melakukan pengukuran untuk tapal batas hutan, katanya masyarakat masih bisa masuk mengelola hutan tetapi setelah ditetapkan menjadi kawasan hutan masyarakat ternyata dilarang masuk,” tutur Pak Haji Kadir salah seorang yang dituakan di kampung dengan seriusnya menjelaskan kepada kami.


(Pak Rusminin menemani penulis mengitari Hutan Leoren yang telah diklaim oleh pihak Kehutanan sebagai Hutan Negara di Kab. Enrekang. Dok: Pribadi

Pak Supriadi salah satu tokoh masyarakat setempat juga menjelaskan bawah masyarakat Kampung Leoren sebenarnya sejak dulu sudah punya aturan sendiri yang disepakati bersama dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. Misalnya ada wilayah dalam kawasan hutan yang tidak boleh ditebang pohonnya karena akan merusak sumber mata air dan bisa menyebabkan bencana longsor. Bahkan setiap hari Jum’at dalam setiap minggunya masyarakat bergotong royong untuk membersihkan beberapa titik sumber mata air yang berada di kawasan hutan. “Pihak dari kehutanan takut jika kami masuk hutan dan menebang pohong sehingga hutan menjadi rusak padahal banyak aktivitas bisa dilakukan selain menebang pohon seperti mencari aren dan madu di hutan, itu pun dari dulu kalau ada yang menebang pohon hanya untuk kebutuhan membangun rumah panggung,” kata Pak Supriadi.

Pada konteks ini, posisi negara masih melihat masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah subjek yang berpotensi merusak hutan dengan aktivitas penebangan liar padahal banyak data yang sudah terpublikasikan menegaskan bahwa pelaku perusakan hutan justru banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan monokultur yang telah mendapat izin dari negara  sendiri untuk mengusai hutan sehingga menyebabkan hilangnya keseimbangan ekologis hutan. Masyarakat tidak hanya kehilangan ruang hidupnya tetapi juga kehilangan nilai-nilai kearifan lokalnya karena hilangnya relasi atas tanah dan alamnya. 

Situasi seperti ini pun akan terus berlanjut jika negara dalam konteks kebijakan politiknya tidak memberikan pengakuan bagi masyarakat untuk membangun kembali relasinya dengan alam tempat mereka hidup dan membangun sistem sosial budayanya. Meskipun pada tahun 2019  masyarakat akan dihadapkan pada perhelatan demokrasi yakni Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih presiden dan wakil-wakil legislatornya, menurut saya tetap saja tidak akan memberikan kontribusi yang begitu signifikan bagi masyarakat terutama masyarakat yang saat ini sedang berkonflik mempertahankan hak atas sumber daya alamnya dengan melihat situasi yang berkembang saat ini. Isu-isu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan penyelamatan sumber daya alam justru belum menarik menjadi tema bagi para politisi kita, sebaliknya yang nampak di media-media adalah transaksi jual-beli politik identitas yang terjebak pada simbol-simbol agama, etnis dan ras dengan memecah bela masyarakat. Akal sehat kita sedang berusaha dipermainkan oleh mereka!

Kita bahkan sudah berulangkali mengingatkan kepada pemerintah ketika terjadi konflik perebutan ruang atas kelola sumber daya alam antara kepentingan masyarakat dan pengusaha-pengusaha rakus bahwa negara harus hadir untuk melindungi hak asasi warga negaranya sesuai dengan amanat  konstitusi dasar negara ini, meskipun yang saya rasakan langsung ketika bertemu masyarakat lokal yang masih konsisten memegang teguh nilai-nilai kearifan lokalnya dalam menjaga relasinya dengan alam sebaliknya tidak terlalu memikirkan apakah negara peduli atau tidak dengan mereka, karena sebelum ada negara masyarakat sejak dulu telah memiliki tafsir tersendiri bagaimana memaknai hidup dengan sederhana bersama alam tanpa harus tergantung pada proyek pembangunan negara. Yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal adalah pengakuan identitas dan entitas bahwa mereka adalah bagian dari alam itu sendiri. Menutup tulisan ini, mari coba kita renungkan bersama mengapa sampai saat ini masyarakat di Papua terus berjuang menuntut kemerdekaannya sendiri?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelorakan perjuangan di kampus! Gapai hak kita!

" Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. (Pramoedya) Waktu itu saya baru semester 2, salah seorang dari civitas akademika kampus memberi saya pesan. “ Jangan ikuti seniormu yang suka demo, fokus kuliah saja”. Hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah tentang larangan untuk ikut berdemonstrasi? Kenapa? Dan apa sebabnya. Apakah perguruan tinggi berperan sebagai “rumah ilmu” ataukah perguruan tinggi merupakan sarana meningkatkan status sosial mahasiswa tersebut. Haruskah seseorang mahasiswa berkutat pada materi-materi kuliah saja ataukah mahasiswa juga melakukan persinggungan dengan realitas objektif (masyarakat)? Bagaimana seharusnya menjadi seorang mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terkadang muncul dalam benak kita, yang terkadang kita sendiri tak tahu jawabannya. Dari sini kita bisa lihat bahwa sebetulnya tidaklah terlampau sulit untuk menyimpulkan atas fenomena ketimpangan yang terjadi...

Saya Mahasiswa Sejarah dan Wajib Membaca Buku Kiri

(Dok: Pribadi) Razia buku-buku kiri yang dilakukan oleh aparat negara dan beberapa ormas keagamaan di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan Kota Makassar belakangan ini menjadi perhatian publik. Respon solidaritas pun berdatangan dari para pegiat literasi, aktivitis, sastrawan dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memberikan kecaman terhadap tindakan razia buku karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Seminggu terakhir saya menunggu tulisan kritis dari para akademisi, dosen ataupun sejarawan di Kota Makassar dalam menyikapi polemik razia buku-buku kiri terkhususnya buku sejarah yang berkaitan dengan tema ideologi komunisme, gerakan komunisme Indonesia dan Peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) 1965. Tetapi sampai saat ini saya belum mendapatkan satu pun tulisan yang terbit di media cetak ataupun media online. Tentunya kita membutuhkan pendapat dan pandangan mereka kenapa buku-buku sejarah yang dikategorika...

The Kablams (Awal Mula)

Cerita 01 Cerita ini 80 persennya diangkat dari kisah nyata sekelompok anak muda yang memiliki misi visi menolak tua. 20 persennya adalah fiksi, itu tergantung dari saya mau menambahkan atau mengurangi isi ceritanya, toh sebagai penulis saya punya hak prerogatif. Hahaha (ketawa jahad). *** Kami berlima akhirnya bersepakat atau mungkin cenderung dipaksakan untuk membuat genk. Bisa jadi ini merupakan sebuah faksi dalam komunitas kami sendiri. Tujuannya bukan untuk melakukan kudeta terselubung atau kudeta merangkak yang dipopulerkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Untuk apa juga kami melakukan kudeta, sementara komunitas ini tidak memiliki ketua atau makhluk sejenisnya, Jangan tanyakan soal berapa besar dana hibah yang dikelola komunitas ini. Saya sedikit punya pengalaman lebih dalam mendirikan genk dibandingkan anggota genk yang lain. Sedikit cerita tentang pengalaman ini. Pertama kali saya mendirikan genk bersama...