Langsung ke konten utama

Postingan

Ketika Jugun Ianfu Merdeka dari Reklamasi: Sepenggal Cerita Island Fest Pulau Lae-lae 2023

Om Bob memeluk saya penuh haru bahagia ketika penampilan teater boneka yang digawangi oleh Nur Ikayani selesai dan mendapatkan riuh tepuk tangan dari penonton. Baik Om Bob atau biasa juga disapa Anton Samalona dan Nur Ikayani, panggilannya Kika adalah dua sosok seniman yang memiliki ikatan emosional begitu kuat dengan Pulau Lae-lae. Om Bob lahir dan tumbuh besar di Pulau Lae-lae, sedangkan Kika pernah tinggal menetap beberapa tahun di pulau tersebut. Dua sosok ini jugalah yang berperan penting dibalik layar suksesnya penyelenggaraan Island Fest 2023 selama tiga hari di Pulau Lae-lae. Festival ini diinisiasi oleh masyarakat Pulau Lae-lae dalam menyambut hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78. "Mahal ini ide cerita teaternya Om Bob, diluar dari yang kubayangkan sama sekali," kata saya.  "Itu karena kita semua ikhlas dan mau bersatu sukseskan ini acara saudara," timpal Om Bob yang dengan spontan menyalami tangan saya dengan begitu erat. Setelah itu
Postingan terbaru

Sabtu Sore Setelah Hujan, Perayaan Dua Tahun Ahmad Nabiil Arsha

  Biil, ini bukan kado sebagai perayaan usiamu yang kedua tahun. Boleh dibilang, tulisan ini bentuk rasa syukur dan bahagia dari seorang bapak, ayah, atau kebiasaanmu yang memanggil saya Abaa. Biil, suatu saat tulisan ini akan kau baca, pahami dan menjadikannya sesuatu yang layak untuk dikenang. Pada saat menulis ini, Abaa dalam kondisi cukup tertekan atau mungkin saja ini stres karena urusan studi perkuliahan dan pekerjaan yang menumpuk. Fase menjadi orang tua adalah pilihan yang harus dilewati. Seperti ketika Abaa memutuskan untuk menikah dengan Umaamu, itu juga adalah pilihan. Kehidupan itu adalah menjalani pilihan tetapi tidak semua manusia bebas menentukan pilihannya sendiri. Umaamu adalah sosok perempuan yang berani menentukan pilihan atas hidupnya. Biil, di kepala Abaa dan Umaa ada banyak sekali keinginan agar kelak Nabiil menjadi ini dan itu. Namun, sungguh terlalu ego bagi kami sebagai orang tua yang memaksakan keinginannya. Itu artinya sejak dini kami telah membatasi ke

Menyoal Honorarium Narasumber Dalam Kegiatan Kemahasiswaan

(Foto: Istimewa) Tulisan ini sensitif dan bisa jadi akan menimbulkan perdebatan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan uang memang selalu sensitif sebagai topik pembahasan. Beberapa waktu yang lalu, seorang teman membagikan status Saut Situmorang di  Facebook  dan juga menyebut nama akun saya di  Facebook.  Saut menulis statusnya seperti ini:  Parah banget berurusan dengan mahasiswa Ind*n! Waktu ngundang kita jadi Pembicara di acara kampus mereka, lagak mereka kayak benar-benar intelektual. Begitu tiba waktu pembayaran honor kerja keras kita jadi Pembicara, kita dibikin kayak Pengemis, seolah itu bukan Kewajiban mereka setelah kita melakukan Kewajiban kita! Pantaslah negeri ini dikuasai rezim-rezim busuk dan oligarki, kaum “intelektual”nya aja nyampah gak bertanggungjawab!  Status tersebut adalah luapan kejengkelan Saut terhadap panitia kegiatan kemahasiswaan di salah satu kampus. Saut merasa kewajibannya sebagai narasumber sudah dia tunaikan tetapi panitia sepertinya belum menjalanka

Rumah dan Musyawarah

  (Dokumentasi foto: kompasiana.com) Rumah itu akan kembali bermusyawarah. Ruang berdemokrasi untuk mencapai tujuan mulia dari rumah itu sendiri. Bermusyawarah bukan hanya tentang memilih kelak siapa bertanggungjawab sebagai pemimpin yang akan menjadi penghuni tetap rumah selama setahun lamanya. Musyawarah di dalam rumah setahu saya tidak gila akan politik busuk kekuasaan dan itu telah berjalan selama beberapa tahun terakhir. Lalu muncul pertanyaan, apakah musyawarah rumah kali ini akan menjadi momentum untuk membersihkan segala isi rumah yang dianggap membatasi kemajuan ruang berpikir dan berkarya? Pertanyaan tersebut lebih kepada arah refleksi dan evaluasi, karena begitulah sesungguhnya subtansi dari bermusyawarah. Kita bermusyawarah untuk mencari akar masalah dan mencari jalan keluarnya secara bersama-sama. Pertanyaan selanjutnya adalah, beranikah kita untuk mengakui jika memang rumah tempat kita belajar segala hal juga memiliki kekurangan? Atau sebaliknya kita tidak berani satu s

Wabah Virus dan Protes Rakyat (Sebuah Tinjauan Historis)

 (Ilustrasi dukun di Jawa mengobati pes. Sumber foto: historia.id) Melihat ke belakang, jauh sebelum wabah pandemi virus corona atau Covid-19 menjangkiti Indonesia, rakyat pada zaman kolonialisme Belanda telah lebih dulu merasakan hidup dalam ancaman wabah virus. Dua wabah virus tersebut adalah pes dan influenza. Sejarawan Syefri Luwis dalam sebuah diskusi daring mengungkapkan, bahwa wabah pes pertama kali dilaporkan terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tahun 1905. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda tidak peduli dengan kasus tersebut karena yang terjangkit hanya dua orang. Enam tahun berselang, laporan wabah pes kembali muncul di Hindia Belanda, tepatnya di Malang Jawa Timur. Wabah ini diprediksi mulai menyebar di Malang karena faktor beras dari Myanmar. Lagi-lagi pemerintah kolonial Belanda tidak percaya begitu saja dan membantah karena meyakini tikus Myanmar berbeda dengan tikus lokal. Pada kenyataannya, tikus Myanmar mampu beradaptasi dengan lokal sehingga